Dasun-rembang.desa.id- ROBOHNYA bangunan eks kantor redaksi harian De Locomotief adalah kehilangan besar, tidak hanya bagi Semarang, namun juga sejarah di Indonesia. Perlu diketahui bahwa De Locomotief adalah surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Ia dikenal sebagai corong suara kaum etisi yang mendukung politik balas budi pemerintah kolonial kepada masyarakat bumiputera di Hindia Belanda.
Terbit perdana pada 1851, surat kabar ini masih bernama Semarangsch Nieuws en Advertentieblad. Tahun 1863 berubah menjadi De Locomotief. Nama itu dipilih karena pada saat bersamaan masyakat sedang ramai membicarakan rencana pembangunan jalur kereta api, yang merupakan moda transportasi baru di Hindia Belanda.
Politik etis menjadi haluan utama De Locomotief. Bahkan, Pieter Brooshooft, salah seorang pemimpin redaksi koran ini, punya andil cukup besar dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat bumiputera tersebut. Bersama C. Th Van Deventer, dia dikenal sebagai pencetus politik etis. Alkisah, setelah melakukan perjalanan mengelilingi Jawa pada 1887, Brooshooft menulis laporan tentang kemelaratan penduduk akibat sistem tanam paksa. Bersamaan dengan itu, dia juga menuntut pembentukan partai Hindia.
Dari kantor di Van Hoogendorpstraat 20-22 Semarang, Brooshooft dan penerusnya, seperti Stokvis dan Lievegoed, rajin menulis artikel yang menyerukan perlunya pemerintah kolonial membalas budi kepada masyarakat bumiputera. Mereka juga sigap mengawal pelaksanaan politik etis di lapangan. Kendati demikian, respons Ratu Wilhelmina melalui pemberlakuan program irigasi, emigrasi, dan edukasi untuk rakyat Hindia, tak cukup membuat Brooshooft puas. Dalam keadaan kecewa, dia memutuskan kembali ke Belanda. Tapi sebelumnya, lelaki yang juga seorang sastrawan itu menulis tajuk rencana terakhir di De Locomotief edisi 31 Desember 1903: “Pamitan dengan Orang Sakit.”
Sejarawan Universitas Diponegoro Semarang, Dr. Dewi Yuliati, menyebut De Locomotief sebagai media yang mula-mula menyebarkan paham liberalisme di Hindia Belanda. Namun beda dari liberalisme kaum pemodal, liberalisme yang disuarakan De Locomotief bercorak etis. Haluan koran itu mendorong pemerintah menyejahterakan masyarakat bumiputera.
“Lepas dari tujuan untuk kepentingan imperialisme Belanda, politik etis membuka jalan bagi kesadaran politik di kalangan masyarakat bumiputera. Buktinya, mahasiswa Stovia yang mendirikan Boedi Oetomo itu. Mereka bisa punya pemikiran maju karena mendapat pendidikan hasil politik etis,” ujar Dewi. Bahkan, De Locomotief memuat selebaran pendirian dan persiapan kongres Boedi Oetomo.
Dewi Yuliati berharap, gedung eks kantor harian De Locomotief bisa diselamatkan. Pasalnya, gedung itu merupaka monumen penting bagi sejarah pers dan pergerakan nasional Indonesia. Khusus untuk Semarang, situs De Locomotief menjadi bukti pertemuan ideologi-ideologi besar yang pernah berkembang di kota ini pada era pergerakan.
“Kalau sosialisme diwakili oleh Sarekat Islam Merah, PKI, dan VSTP, dan nasionalisme diwakili cabang partai seperti PNI, Partindo, dan lain-lain, liberalisme diwakili De Locomotief,” ungkap penulis disertasi berjudul Dinamika Pergerakan Buruh di Semarang 1908-1926 itu.
De Locomotief koran yang berpengaruh dan memiliki pembaca luas. Selain di penjuru Tanah Hindia, ia juga tersebar di sebagian daratan Eropa. Untuk keperluan sirkulasi dan iklan, manajemen merasa perlu menempatkan dua agen besar di Paris dan Amsterdam. Tak hanya kebijakan politik pemerintah, haluan De Locomotief juga mempengaruhi pemikiran sejumlah tokoh, salah satunya R.A. Kartini. Putri Bupati Jepara yang pada masa kemudian ditahbiskan sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia itu, memang gemar membaca koran tersebut.
Selain Kartini, tokoh pergerakan EFE Douwes Dekker pernah bekerja di De Locomotief di bawah pimpinan Brooshooft. Setelah itu, dia kemudian bekerja pada Soerabajaasch Handelsblad dan menjadi redaktur Bataviaasche Handelsblad.
Meski mengalami pasang-surut, koran ini mampu bertahan lama dalam bisnis persuratkabaran. De Locomotief bahkan masih terbit pascapengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda tahun 1949. Ia baru benar-benar mengakhiri lelakonnya, lima tahun setelah perayaan satu abad, yakni pada 1956.
Penulis: Rukardi Ahmadi/ Historia.id