You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.

Sistem Informasi Desa Dasun

Kec. Lasem, Kab. Rembang, Prov. Jawa Tengah
Info
Laman Resmi Pemerintah Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Sekretariat: Balai Desa Dasun, RT.01,RW.01, Dasun, Lasem, Kode Pos: 59271 | Dasun Maju | Desa Pemajuan Kebudayaan Kemendibud | Desa Anti Korupsi KPK RI

Sejarah Asal Usul Nama Dasun


Sejarah Asal Usul Nama Dasun

dasun-rembang.desa.id-Desa Dasun berada di daerah pesisir pantai utara Jawa. Bisa dikatakan Dasun merupakan pintu gerbang Lasem. Berbagai kebudayaan, teknologi, ilmu pengetahuan pada jaman dahulu masuk melalui Sungai Dasun Lasem sebelum menyebar ke wilayah pedalaman. Sebelah utara Desa Dasun berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat dengan Sungai Dasun Lasem dan Desa Gedongmulyo, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tasiksono dan Desa Sendangasri, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Soditan. Cerita Tutur atau Sastra Lisan yang berkembang di masyarakat Dasun mengenai asal-usul nama Dasun setidaknya ada tiga versi. Keberadaan cerita tutur ini memang tak lepas dari peran desa Dasun pada jaman dahulu yang merupakan tempat pembuatan kapal dan tempat masuknya candu/ opium melalui sungai Dasun Lasem.

Berkenaan dengan asal-usul namanya, cerita tutur pertama yang dilestarikan masyarakat desa Dasun sampai sekarang berasal dari kata “Ndas-ndasane Dusun” atau “kepalanya dusun”. Hal ini bisa dimaknai bahwa pada saat itu Dasun merupakan suatu tempat memproduksi kapal-kapal militer Majapahit maupun Demak, dan dengan demikian menjadi tempat yang sangat penting dan strategis dalam menopang dua kerajaan tersebut menjadi penguasa lautan. Sehingga Dasun yang dijuluki sebagai “Ndas-ndasane Dusun” menjadi nyata. Seturut dengan pemaknaan tersebut, maka tanpa Dasun yang menjadi tempat pembuatan kapal-kapal militer, tidak akan tercipta armada maritim yang tangguh. Setidaknya itulah kemungkinan yang dimaksud dengan Dasun berasal dari kata “Ndas-ndasane Dusun”.

Cerita tutur kedua tentang asal-usul nama Dasun berasal dari kata “Ndas Susun-susun”. Istilah  ini dituturkan langsung oleh Darmo Darman, salah seorang sesepuh desa yang menjadi pekerja galangan kapal di Dasun.

 

“Dasun niku, ngeten lho sak pireng kulo. Sak sumerap kulo, kulo boten gawe gawe. Ceritane wong tuwo. Biyen ngriki niku nggene wong mateni wong, jalaran nopo, tiyang nggowo candu king prahu niku medun sak ketemune wong dipateni mergi wedi nak dilaporake ning pemerintah. Candu niku nak sakniki niku narkoba. Ngoteniku biyen empun enten larangan gede. Kepetuk tiyang lanang wedok gede cilik dipateni. Terus Dasun, endas susun susun ngoten. Ceritane ngoten, niku duko nggih duko boten.” (Sumber: Wawancara dengan Darmo Darman pada 3 Oktober 2016)

Cerita mengenai penyelundupan Candu di Lasem melalui Sungai Dasun, terutama pada awal abad ke-19, memang benar adanya. Banyak bukti arkeologis mengenai hal tersebut terutama dengan merujuk pada sebuah rumah yang dinamai sebagai Lawang Ombo yang menghadap ke Sungai Dasun Lasem. Di dalam rumah Lawang Ombo terdapat lubang yang tembus sampai Sungai Lasem. Oleh berbagai pihak, jalan bawah tanah ini dipercaya sebagai jalur penyelundupan candu. Lewat lorong rahasia bawah tanah inilah kegiatan pemindahan candu dari perahu ke rumah tidak mencolok. Aktivitas penyelundupan candu tersebut memasuki Desa Dasun melalui sungai. Menurut kisah yang dituturkan oleh Darmo Darman setiap orang yang melihat penyelundupan candu kemudian dibunuh. Saking banyaknya orang yang terbunuh itu akhirnya melahirkan istilah Dasun Ndas Susun-susun.

Cerita tutur ketiga berasal dari nama seseorang yang diyakini sebagai pembabat alas Desa Dasun, Daisun. Nama tersebut adalah nama orang Tionghoa. Ia dipercaya sebagian penduduk sebagai seorang tokoh dari Tiongkok yang bermukim di Dasun akibat kapalnya terdampar di pantai. Ia menderita kelaparan karena perbekalannya habis dirampok bajak laut. Setelah bermukim di Dasun, ia juga banyak berinteraksi dengan penduduk setempat yang jumlahnya masih sangat sedikit. Daisun menarik perhatian penduduk lokal karena kerajinan dan kepiawaiannya dalam mengolah tanah. Ketika Daisun menggarap tegalan, hasil panennya berupa ketela, padi, maupun jagung sangat melimpah. Kemudian saat Daisun mengolah tambak, ikan-ikan yang dihasilkan juga sangat banyak dan besar-besar. Para penduduk kemudian menobatkan Daisun sebagai pemimpin di wilayah tersebut. Saat itu pula nama tempat tersebut dinamakan Dasun. Kemudian diceritakan bahwa Daisun berhasil mualaf dan berganti nama menjadi Kongso. Kongso kemudian dimakamkan di Dasun sendiri, makamnya dirawat dan dilestarikan hingga sekarang dengan sebutan kehormatan Punden Mbah Kongso.

Aktivitas masyarakat Dasun saat melakukan sedekah bumi juga dipusatkan di Makam Mbah Kongso. Namun menurut Sudaryoko kata Kongso berasal dari kata Kongco, atau disebut Gong Zu yang dalam bahasa China diartikan sebagai kakek buyut. Cerita tutur tersebut penulis dapatkan dari Sudaryoko dan dikembangkan penuh oleh Jefri Tri Afrianto. Ketiga versi di atas sengaja dimunculkan untuk memuliakan setiap penutur kisah di Desa Dasun.

Nama Dasun Dalam Lembaran Kolonial

Nama Dasun atau jaman dahulu bernama Dasoen muncul beberapa kali di peta buatan Belanda. Yang masih bisa diakses dengan tahun paling tua adalah pada peta topografi Kadipaten Rembang pada 1858. Nama Dassoen atau Dasun (sekarang) sudah tercantum dalam peta Belanda tahun 1858 dengan cetakan tebal dan besar. Artinya pada saat itu wilayah Dasun merupakan wilayah yang cukup diperhitungkan, dan berpengaruh dalam tata kehidupan di Rembang bahkan Hindia Belanda. Pada saat itu Dassoen masuk ke dalam wilayah distrik Binangoen. Pada saat itu Kadipaten atau sebutannya Residen terdiri dari 6 distrik, yakni : Waroe; Sulang; Pamotan; Binangoen; Kragan; dan Sedan.

Dokumen lain yang cukup tua menyebutkan Dasoen/ Dasoon adalah Surat Kabar Java-Bode yang terbit pada tanggal 28 Juni 1854. Dalam catatan tersebut penyebutan Dasun menunjukkan nama tempat tujuan sebuah kapal yang berangkat dari Surabaya. Nama kapal itu adalah Langin Lamongan dengan Kapten Kapal Pa. Sarieman. Hal ini dapat diartikan bahwa pada tahun 1854 Dasun menjadi tempat tujuan kapal besar karena terdapat pabrik galangan kapal dan Pelabuhan Lasem yang menjadi tempat keluar masuk banyak komoditi seperti beras, kayu jati, bahkan opium/ candu.

Lembaran data dari Belanda selanjutnya adalah Staatkundig en staathuishoudkundig jaarboekje atau Buku Tahunan Politik dan Ekonomi yang merupakan buku tahunan politik dan pemerintahan di Hindia Belanda yang terbit pada tahun 1869. Berikut adalah kutipan dari Buku Tahunan Ekonomi-Politik Belanda tahun 1869:

De nederlandsch-indische koopvaardijvloot bestond op het einde van 1865 uit 361 schepen, metende 36.777 lasten. Aan 24 schepen werden eerste zeebrieven verleend. De scheepstimmerwerft te dasoen kan als de voornaamste in geheel nederl-indie worden aangemerkt; gewoonlijk zijn daar 150 a 200 werklirden in dienst. de werven te grissee en soerabaija verkeerden niet in bloeijenden toestand; die te japara en djawana weren bepaaldelijk in verval. (Sumber : Staatkundig en staathuishoudkundig jaarboekje, Tahun 1869)

Intinya dalam laporan tersebut pada akhir tahun 1865 Armada Angkatan Laut Hindia Belanda terdiri dari 361 kapal, dengan 36.777 muatan. Sedangkan galangan kapal di Dasoen (Dasun) bisa dianggap sebagai yang terpenting di seluruh Hindia Belanda; biasanya 150 hingga 200 pekerja dipekerjakan di sana. Sedangkan galangan kapal di Gresik dan Surabaya tidak dalam kondisi baik, demikian pula di Jepara dan Juwana juga sedang menurun produksinya. Kondisi demikian memang terjadi pada saat Belanda mulai mengatur penebangan kayu jati sebagai bahan pembuatan kapal perang. Galangan Kapal Dasun diberi hak istimewa karena dipercaya pemerintah Kolonial Belanda untuk pengadaan armada militer angkatan laut Hindia Belanda. Akibatnya, penggunaan kayu untuk Galangan Kapal Dasun menjadi prioritas. Dengan berpatokan pada laporan tersebut, posisi Dasun sebagai tempat pembuatan kapal pada saat itu dianggap sebagai yang terpenting di Hinda Belanda.

Pada tahun 1868 terbit sebuah majalah berjudul Tijdschrift voor Neerland's Indië (Majalah untuk Hindia Belanda). Dalam majalah tersebut tercantum nama Dasoen (Dasun) sebagai tempat pembuatan kapal di sebuah artikel perjalanan seseorang. Juga diceritakan tentang rumah-rumah Tionghoa yang sangat besar dan megah. Sang pencerita juga memberikan informasi bahwa orang-orang Tionghoa Lasem pada tahun itu sedang berbisnis opium atau candu selundupan. Diceritakan juga pada saat itu Lasem sebagai tempat yang dekat dengan laut bisa menjadi pintu masuk datangnya opium sebelum disebar ke seluruh penjuru jawa, yang terbanyak ke Surakarta. Tak jarang pula ada orang Tionghoa dari Singapura yang berdagang di Lasem juga membawa opium atau candu.

Setelah itu banyak sekali surat kabar, laporan pemerintah kolonial, buku-buku ilmiah yang menyebutkan di antaranya kata dasoon, dasoen, dassoen, dan dasson. Kebanyakan di antaranya memang menyebut Desa Dasun berkaitan dengan keberadaan galangan kapal ataupun suatu peristiwa misalnya banjir di Lasem. Di antara berbagai surat kabar dan buku ilmiah yang menyebut Dasun antara lain: Soerabaiasch-Handelsblad; De Indische Courant; Voor Nederlandsch-Indië; Bataviaasch handelsblad; Bataviaasch nieuwsblad; De Banier  Staatkundig Gereformeerd Dagblad; De Indische courant; De Indische mercuur; De locomotief  Samarangsch handels- en advertentie-blad; De Maasbode; De Sumatra post; Encyclopaedie van Nederlandsch-Indièˆ Deel II N-Z; De Surinamer nieuws- en advertentieblad; dan lain-lain. (Exsan Ali Setyonugroho/ Dasun: Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya)

Bagikan artikel ini:
Komentar