Oleh Angga Hermansah*
Dasun, desa yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa dengan garis pantai terpanjang se Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang, memiliki luas wilayah yang didominasi dengan pertambakan dengan batas wilayah yang dikelilingi oleh sungai dan lautan. Dengan sendirinya, dalam pemenuhan hidupannya masyarakat Dasun banyak memanfaatkan potensi air yang ada. Air erat kaitannya dengan masyarakat kami, bermacam aktivitas mata pencaharian mereka geluti dan pedomani dalam mengelola perilaku air yang tak menentu. Dari aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dengan interaksi yang harmonis antara manusia dan alam, maka pengetahuan terbentuk secara alami dan mengakar dalam jiwa dan menjelma dalam kehidupan masyarakat.
Dengan pengetahuan yang mengakar dalam masyarakat Dasun tersebut, menandakan bahwa Dasun bukanlah Desa yang baru terbentuk. Air yang menjadi elemen utama memberi isyarat bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari sistem peradaban kuno yang memiliki pola hubungan dengan air dan sungai yang sangat kuat. Letak geografis yang sangat potensial dengan sumber air yang melimpah membuat aktivitas masyarakat Dasun Khususnya bagi petani tambak sangat menjanjikan. Hal tersebut yang membuat Desa Dasun terkenal akan produk bandengnya yang dikelola secara organik dengan sistem irigasi tradisional. Selain bandeng, Dasun juga memiliki produk garam yang produksi lebih dari 70 tambak yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat.
Memori Kolektif Warga
Pengetahuan tradisional telah melekat dan menjadi bagian dari ingatan yang terus diingat dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Dalam menunjang aktivitas mata pencaharian, pengetahuan pergantian mangsa (musim) menjadi salah satu sumber pengetahuan yang menggambarkan bahwa masyarakat pesisir Jawa memiliki hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan tersebut dapat diterjemahkan bahwa manusia memiliki keeratan dalam hubungan interaksi dengan Sang Pencipta dan alam semesta untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Salah satu pengetahuan tradisional yang sering dijumpai di berbagai daerah dan desa yaitu tentang perhitungan musim atau mangsa. Perhitungan musim seringkali menjadi pokok bahasan masyarakat desa, seperti masyarakat nelayan dan petani tambak di Desa Dasun yang sangat bergantung dengan musim dan cuaca. Kelompok nelayan perlu menghitung musim untuk menentukan waktu dan alat tangkap yang digunakan untuk pergi melaut. Dan juga para petani tambak yang memerlukan perhitungan musim untuk menentukan kapan memulai produksi garam atau mulai budidaya ikan bandeng. Pengetahuan tradisional yang berhubungan dengan kendali air inilah kemudian saya sebut dengan istilah Pranoto Banyu.
Pranoto Banyu merupakan pengetahuan dalam memahami dan menguasai pergantian dan penghitungan musim, perubahan pergerakan air sungai dan laut, tata cara pengelolaan tambak bandeng dan garam, serta tanda alam yang mempengaruhi musim tangkapan nelayan. Pengetahuan tersebut bagi masyarakat Dasun amat penting dalam menyiapkan segala sesuatu hal, baik tata cara, sikap dan perubahan yang akan terjadi pada alam. Pada akhirnya Pranoto Banyu menjadi praktik kebudayaan masyarakat Dasun dan bagian dari memori kolektif yang tersimpan di dalam pikiran dan perilaku manusianya.
Ruang Ekspresi Baru
Keluar dari khasanah pewarisan pengetahuan alami, ruang baru tercipta dalam kerja kolaboratif. Petani tambak yang biasanya hanya mengatur kualitas air tambak saat budidaya bandeng dan kerja keras berkeringat untuk menghasilkan sebutir kristal garam, dengan inisiatif Eggy Yunaedi sebagai perupa mencoba untuk meluaskan perspektif masyarakat terhadap fungsi garam. Berkolaborasi bersama Eggy Yunaedi petani garam memperlakukan garam sebagai media seni rupa alternatif yang berbicara tentang tambak dan kehidupan mereka sendiri.
Kolaborasi kali ini membawa nuansa baru bagi petani garam. Kegiatan kolaborasi pameran lukisan garam dilaksanakan di Sangkring Art Space Yogjakarta dengan kondisi suhu yang berbeda dengan wilayah pertambakan desa Dasun. Setelah pada tahun lalu membuat karya Bancaan Rupa, yang berbicara tentang elemen alam dan budaya yang mempengaruhi kehidupan petani garam, kali ini mereka mencoba menggarap tema besar Pranata Banyu yang mengusung dua musim peralihan yang dikenal oleh masyarakat Dasun dengan istilah Mongso Laboh dan Mongso Mareng. Pengetahuan yang kuat mengakar mengenai tanda-tanda alam dan perilaku hewan di dua fase pergantian musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya itu, serta kearifan yang ada di dalamnya menjadi bahan bagi petani garam Dasun bersama Eggy Yunaedi untuk dituangkan dalam lukisan garam dalam Pameran Lukisan Garam Pranoto Banyu.
*) Warga Desa Dasun, Penulis buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun dan Pranata Banyu
Foto : Angga Hermansah sedang bersama Sidiq seorang petani tambak senior di salah satu tambak milik Sidiq Desa Dasun (fotografer : A. Sholeh Syarifuddin, 2024)