You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.

Sistem Informasi Desa Dasun

Kec. Lasem, Kab. Rembang, Prov. Jawa Tengah
Info
Laman Resmi Pemerintah Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Sekretariat: Balai Desa Dasun, RT.01,RW.01, Dasun, Lasem, Kode Pos: 59271, No Telp: 085726949461 | Dasun Maju | Desa Pemajuan Kebudayaan Kemendibud |

Gaung Pemajuan Kebudayaan "Mlempem' di Penghujung Jalan


Gaung Pemajuan Kebudayaan

Oleh: Angga Hermansah*

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kata “pemajuan kebudayaan” sendiri jarang bahkan minim terdengar oleh telinga masyarakat, lebih khusus masyarakat desa. Baru nama pemajuan kebudayaan mulai muncul dibicarakan di publik ketika Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meluncurkan program Pemajuan Kebudayaan Desa pada awal tahun 2021. Sebelumnya mulai tahun 2017 sejak disahkan sampai tahun 2020 pemajuan kebudayaan belum begitu dikenal apalagi mampu bergaung untuk mengimbangi pemberitaan nasional lainnya.

Pada pelaksanaan Program Pemajuan Kebudayaan terdapat kurang lebih 360-an yang terpilih menjadi desa pemajuan kebudayaan tahun 2021 dan berkurang menjadi 230 desa pada tahun 2022 & 2023. Untuk mempermudah pendampingan terhadap desa-desa, pada tahun 2021 Direktorat Kebudayaan melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya membentuk pendamping kebudayaan desa (Daya Desa) yang berperan sebagai pendamping / fasilitator / penghubung informasi terhadap desa penerima program. Dan saya termasuk bagian dari itu, menjadi Daya Desa tepatnya Daya Desa Dasun kecamatan Lasem kabupaten Rembang.

Tahun 2021, tepatnya bulan November ratusan desa penerima program menggelar kegiatan pemanfaatan secara serentak. Mulai dari festival, pasar budaya, workshop, ritual, dan berbagai ragam pentas budaya desa lainnya yang dipilih oleh masyarakat desa untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Saat itu, mengingat masih dalam masa transisi pandemi, namun berhasil menyelenggarakan kegiatan kebudayaan di seluruh daerah Indonesia. Namun sayang, dari satu televisi nasional pun tidak melirik atau tertarik untuk menayangkan pemberitaan pemajuan kebudayaan yang jelas-jelas sebagai bentuk transformasi budaya dalam menghadapi percepatan pertumbuhan ekonomi dan teknologi negara-negara dunia. Lantas, apakah ada tahapan yang terlewat, sampai-sampai indikatornya ada yang tidak tercapai. Bukankah dalam era budaya layar, pentas budaya desa adalah sebuah hal yang layak menjadi trending topik dalam layar kaca?

Selanjutnya, tahun 2022 desa-desa penerima program berkurang secara drastis yang awalnya 360-an desa hanya tersisa 230 saja. Hal tersebut menandakan telah dilakukannya evaluasi terhadap program yang berjalan di tahun sebelumnya. Dan saya kira ada hal-hal baru yang ditawarkan pada tahun ini. Menjajaki tahun kedua, setiap desa membuat rencana jangka panjang mengenai pengembangan dan proses pemanfaatan budaya yang nantinya akan menjadi pedoman bagi desa dan mampu menjadi daya (kekuatan) bagi desa dalam bidang kebudayaan. Saya kira akan seperti tahun sebelumnya setiap desa akan melaksanakan kegiatan pemanfaatan dengan kualitas dan skala kegiatan yang lebih besar agar mampu menggaung dalam ruang komunikasi publik sosial budaya di masyarakat. Ternyata dugaan saya salah, hanya desa-desa terpilih atau yang dipilih yang diberi sokongan dalam menyelenggarakan kegiatan pemanfaatan. Dengan situasi tersebut muncul sebuah pertanyaan, apakah tahun ini gaung pemajuan kebudayaan akan sampai di penjuru Indonesia? Ternyata sama, tidak lebih baik dari tahun sebelumnya.

Harapan baru muncul pada tahun 2023 ini, desa mendapat angin segar. Tahun ini ada kegiatan pemanfaatan yang terbagi dalam beberapa kategori antara lain ; festival, pasar budaya, pembuatan buku, film/video dokumenter, revitalisasi sanggar, pembuatan website, sekolah budaya, perpustakaan, desain produk, travel pattern,dan workshop. Setiap desa berlomba-lomba menyusun konsep kegiatan, susunan kepanitiaan dan juga rencana anggaran biaya yang nantinya diusulkan kepada Direktur Kebudayaan melalui Daya Desa. Waktu selalu berputar, sudah mulai tahap revisi dan pematangan konsep kegiatan, dan ada juga desa-desa yang sudah menghubungi berbagai stakeholder serta penetapan kepanitiaan. Namun apa yang terjadi, tak ada angin tak ada hujan, kegiatan pemanfaatan yang seharusnya diterima oleh 230 desa diputuskan hanya sebanyak 33 desa dengan kategori yang telah ditentukan. Dan desa lainnya yang belum mendapatkan kesempatan pemanfaatan dialihkan untuk difasilitasi pembuatan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD).

Dari informasi yang saya terima, alasan mendasar terjadinya perubahan ini dilatarbelakangi evaluasi yang telat, yang dilakukan oleh Tim Pelaksana. Bukan berniat memojokkan satu pihak, karena keterlambatan evaluasi tersebut membuat kekecewaan ratusan masyarakat desa yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga di sela-sela aktivitas kesehariannya untuk berkontribusi dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan. Walaupun benar hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan gaung pemajuan kebudayaan selama ini belum menggema, serta komunikasi publik yang dingin dari setiap kegiatan desa untuk mengangkat pemajuan kebudayaan pada masyarakat yang lebih luas. Ditambah cenderung rampingnya jumlah penerima dana pemanfaatan, dan digemukkannya anggaran tiap desa yang menerima, apakah menjamin gaung pemajuan kebudayaan akan berlayar di seluruh wilayah Indonesia? Atau bahkan “mlempem” dan sama seperti dua tahun sebelumnya? Padahal program sudah di ujung jalan.

Harapan pun berlabuh dalam kegiatan kongres kebudayaan. Dalam benak saya, masalah tipisnya gaung pemajuan kebudayaan di tingkat desa ini diangkat dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang berlangsung selama 23-27 Oktober 2023. Namun sayang, dalam kongres yang memaklumatkan kebudayaan sebagai daya transformasi keIndonesiaan ini, diskursus tentang gaung pemajuan kebudayaan masih jauh api dari panggang. Masyarakat desa tidak menggubris berlangsungnya kongres kebudayaan. Bahkan sepuluh maklumat yang dihasilkan dalam kongres kebudayaan, seakan tidak direspon. Deretan maklumat yang membela keragaman sosial budaya yang diyakini mampu membela pemajuan bangsa, perhatiannya publik kalah jauh dengan menanti deretan maklumat pengadilan memutus umur penguasa.

Menengok hasil Kongres Kebudayaan Indonesia pada poin pertama dan kedua.

“Kebudayaan sebagai daya utama dalam transformasi ke-Indonesiaan merupakan hasil kesepakatan yang terus menerus berproses untuk mengolah dan mengembangkan keanekaragaman dan kekayaan hayati dan budaya dalam mengurangi perubahan global multi-dimensi”

“2024-2029 merupakan babak penting dalam meletakkan pemajuan kebudayaan sebagai dasar publik, dan sekaligus panduan transformasi ekonomi, sosial dan ekologi, melalui tata kelola yang sehat , dan kerja para pelaku dan pandu-pandu budaya pada berbagai bidang , tingkatan dan sektor. Visi Indonesia 2045 mempersyaratkan terbentuknya pandu-pandu yang berbudi-daya dan berdaya-budi pada babak ini”

Melihat dari dua poin diatas terlihat bahwa kebudayan akan menjadi bahan baku transformasi di berbagai lini yang sebelumnya sudah ditopang oleh gerakan pemajuan kebudayaan. Transformasi bisa terjadi jika terdapat tiga faktor pendukung yaitu kebijakan, partisipasi masyarakat, dan kebutuhan/pasar. Padahal jika ditarik kebelakang pada program pemajuan kebudayaan, masih banyaknya masalah-masalah yang terjadi di tingkat desa khususnya tidak terjalinnya komunikasi yang intens antar daya desa dan pihak desa serta minimnya kontribusi anggaran dari desa terhadap program. Mungkin hanya sekian desa yang dengan senang hati dan antusias menggelontorkan dana desanya untuk pengembangan potensi budaya melalui pemajuan kebudayaan. Saya sendiri mulai ragu, kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan, akan berjalan mulus.

Terlebih, kalau dilihat kasat mata, memang banyak desa-desa yang menggelontorkan anggarannya untuk event kebudayaan. Namun kalau dianalisis lebih dalam lagi kegiatan /event yang dilaksanakan memang sudah berlangsung sejak lama sebelum adanya program pemajuan kebudayaan diluncurkan. Dan kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya. Ditambah lagi, kata pemajuan kebudayaan tidak muncul ataupun menggaung dalam kegiatan-kegiatan di desa. Bahkan, keberadaan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) yang diharapkan menjadi acuan pembangunan desa dalam bidang kebudayaan, pemajuan kebudayaan akan mengakar kuat di ruang interaksi masyarakat ataukah sebaliknya, dokumen tersebut hanya menjadi produk formalitas saja di penghujung jalan saja. Apalagi, melihat masalah internal di tingkat desa yang belum selesai, dimana sedikit sekali adanya dukungan Kepala Desa terhadap Daya Desa dalam hal kontribusi anggaran.

Memperbincangkan kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Firasat saya, jangan-jangan, program pemajuan kebudayaan belum mampu merebut ruang rindu dari masyarakat. Jangan-jangan, mental nerabas itu masih bersemayam dalam diri orang-orang yang mengaku masyarakat berbudaya. Sebagai autokritik diri saya dan teman-teman Daya Desa lainnya, jangan-jangan pendekatan kita selama ini hanya mengutamakan budaya layar saja.

Mari bersama-sama saling memancarkan peran maju bersama kebudayaan kita. Tetap jeli dan tidak salah langkah dalam menjadikan budaya menjadi daya utama transformasi sosial dan ekonomi. Nilai-nilai pemajuan kebudayaan memang sudah tepat untuk menghidupi keberlangsung kebudayaan. Dan tak lupa strategi dan tahapan perlu diperhatikan karena itu sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.

* Penulis adalah Daya Desa dan Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun

Bagikan artikel ini:
Komentar