Oleh Apriadi Ujiarso
tistis hyang sūrya pinten ghaṭita pitu, sirem kāmukan sanghub awrā. -Nāgarakeṛtāgama 18.8
Tulisan ini merupakan upaya mengingat dan mengenalkan kembali Pranatamangsa masa Jawa Kuno. Agar bisa mengenali, minimal secara baik dan semoga benar. Upaya ini akan diawali dengan mengenali satuan-satuan waktu yang dikenal pada masa itu. Sehingga bisa sekaligus melakukan perbandingan dengan satuan waktu kini. Juga setidaknya bisa memahami kompleksitasnya berkait, guliran waktu, detik berganti menit berganti jam, pagi berubah siang menjadi sore kemudian malam. Hari berganti, minggu berlalu, masa (mangsa/bulan) bergeser seturut dasar perhitungan, matahari dan bulan.
Berawal dari kutipan di atas yang memuat makna “hawa terasa sejuk, saat itu sekitar pukul tujuh; matahari yang tertutup kabut, hilang terangnya.” Susunan kalimat tulisan mpu Prapanca itu memuat konteks saat tibanya Hayam wuruk di dusun Kalar, dalam perjalanan kunjungan di berbagai wilayah Majapahit. Bagi pembaca masa kini, kalimat itu bisa membuatnya berkernyit dahi, saat mencoba memahami satuan waktu yang berbeda dengan yang mereka akrabi. Terlebih bila para pembaca ingat, bahwa tak ada satu wilayah di Jawa, dahulu dan kini, dimana jelang pukul tujuh, matahari belum terbenam.
Kunci pemahaman adalah pada ghaṭita pitu, apa maknanya? Seturut Kern (via Pigeaud) satu ghatita (pukul) menandai akhir sebuah muhurta, sebuah kurun waktu yang memuat 48 menit. Jadi pukul tujuh sesudah tengah hari dapat diduga jam 17.45 menjelang senja. Para Penyair Jawa Kuno sangat akrab dengan istilah ghatita dan muhurta, meski merupakan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta.
Lewat naskah Brahmandapurana dari India,[1] terdapat informasi pembagian hari, siang dan malam seturut satuan waktu sebagai berikut : kala (48 detik), ghati, ghatika, nadi, nadika (24 menit =30 kala), muhurta, ksana (48 menit) dan divasa (24 jam). Semua istilah ini juga masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno. Tetapi apakah durasi waktunya juga sama? Sepertinya tidak sama, mengingat di Jawa selisih antara hari yang paling panjang dan paling pendek tak lebih dari 60 menit. Sementara fajar dan senja selalu sekitar pukul enam.
Istilah-istilah waktu dari India tersebut, lazim kita jumpai dalam sastra Jawa Kuno, meski penerapannya berbeda, dan lebih diselaraskan dengan lingkungan Jawa Kuno. Muhurta dan ksana dipakai dalam arti ‘sesaat’. Tampaknya Nadika berevolusi menjadi nalika. Sedangkan ghatita, yang kerap muncul, dipakai sebagai penunjuk kurun waktu tertentu, juga sebagai bentuk sinonim bagi istilah jawa tabeh (pukul), dan dawuh (jatuh). Sedangkan istilah kasa tidak muncul dalam sastra Jawa Kuno.
Hari alamiah, seturut sumber Jawa Kuno, dibagi menurut dua bagian sama panjang, masing-masing memuat delapan tabeh. Perhitungannya dimulai sejak matahari terbit (pukul 6 pagi) dan sejak matahari terbenam (pukul 6 sore). Dengan begitu satu pukul Jawa Kuno sama dengan 90 menit menurut hitungan kita sekarang. Oleh sebab itu ghatita pitu (pukul tujuh) sama dengan jam 4.30 (16.30). Oleh karena masyarakat Jawa Kuno belum punya jam dinding juga jam tangan, maka saat tibanya waktu tertentu itu mesti dipukul biasanya lewat “kentungan”, dengan jumlah pukulan selaras dengan waktunya (empat tabeh, limang tabeh, wolung tabeh, dan seterusnya).
Ada banyak contoh pemakaian petunjuk waktu yang dipergunakan oleh para mpu Jawa Kuno dalam kreasi syairnya, semisal Bhāratayuddha 38.11 : teg ndā ndā dumawuh tikang ghaṭita sapta himper amungu (tung tung tung pukul tujuh dibunyikan, seperti mau membangunkannya); Di dalam Abhimanyuwiwaha 28.8, para ksatria atau raja yang tak sabar berangkat ke medan laga, diumpamakan kadi bhāskara wengi huwus ing tabeh pitu, bagai matahari pada waktu malam mencapai pukul tujuh; Sutasoma 73.18 : tabeh pat muni (pukul empat telah berbunyi.
Di Bali, divasa atau dewasa, masih digunakan, sebagai satuan waktu 24 jam (hari) menurut peredaran matahari. Sedangkan untuk menyebut satuan waktu hari menurut peredaran bulan disebut titi.[2] Dari tanggal 1 (bulan sabit) sampai tilem (bulan mati) lamanya 30 titi. Logika hitungannya satu tahun (12 bulan) dikalikan 30 titi, diperoleh 360 titi. Namun seturut pangalantaka (peralihan purnama – tilem, dalam satu tahun ada yang disebut ‘nguna lantri’ (artinya dikurangi satu malam), 5 kali atau 6 kali, menjadi 360 – 5 atau 6 kali) diperoleh 354 (355) tahun kabisat atau tahun panjang. Lazimnya titi disebut ’cuklapaksa’ (tanggal), artinya setiap hari bulan bertambah besar, selama 15 hari; dan kresnapaksa (panglong), memuat makna setiap hari bulan berkurang atau makin kecil hingga tercapai tilem (bulan mati).
Pranatamangsa
Masyarakat Jawa Kuno pasti menyadari fungsi penting rembulan kala purnama, saat penerangan jarang terdapat. Bagi sepasang kekasih masa Jawa Kuno, bulan purnama sangat ditunggu, karena diangap waktu yang tepat bagi mereka memadu kasih. Di pedesaan atau istana, lelaki atau perempuan selalu amajeng lek, berbincang-bincang saling bertukar pikiran atau sekadar bercengkerama di pelataran. Bagi yang hendak melakukan perjalanan jauh, beberapa hari, maka waktu berangkat dipilih hari ke-12 naiknya rembulan, sehingga bila kemalaman saat perjalanan, situasi sulit itu terbantu oleh sinar bulan purnama.
Para penyair Jawa Kuno, utamanya bila ingin menuturkan peristiwa yang berlangsung waktu malam hari, mereka sepertinya memiliki rumusan baku, semisal apakah rembulan muncul dengan cahaya terang bersama sinar-sinang bintang, atau justru rembulan muncul bersama cahayanya yang redup. Malam gelap (tilem) jelang bulan muda kerap dikaitkan dengan kematian dan upacara bagi orang mati. Sepertinya pandangan ini menjadi dasar kuat dari tuturan yang terperinci berkait dengan malam kematian Abimanyu akibat serbuan Aswatama. Malam tilem di dalam Bharatayuddha menjadi malam penuh maut.
Tetapi sistem manajemen waktu dan penanggalan masalalu, dalam satu tahun yang jauh lebih umum diikuti sistem Pranatamangsa masyarakat agraris. Diduga di rumah para petani makmur pada masa Jawa Kuno, selalu terpasang “kalender” Pranatamangsa, yang umumnya ditulis atau diukir pada media papan kayu, tetapi sangat mungkin digambar pada media kain. Sepertinya hanya Bali yang mewarisi “kalender” termaksud, meski dalam kondisi terbatas. Kini lebih dikenal dengan nama kalender Tika, biasanya memuat gambar simbol-simbol yang hanya dimengerti oleh penyusunnya. Sebab simbol-simbol yang dihadirkan, lewat tulisan, ukiran, atau gambar, antara satu kalender Tika dengan yang lainnya cukup banyak variasinya, dan nyaris tidak pernah sama antara daerah satu dan lainnya, tergantung pada daerahnya diselaraskan dengan lingkungan hidup, dan kreativitas setempat.
Tampaknya para penyair Jawa Kuno lebih banyak bertindak sebagai pendukung sekaligus pemanfaat keberadaan Pranatamangsa. Dari sekian banyak penyair Jawa Kuno, tercatat Mpu Monaguna[3] yang, entah sengaja atau tidak, mengabadikan Pranatamangsa Jawa Kuno, melalui karyanya Kakawin Sumanasāntaka. Pada rentang waktu yang berbeda, Mpu Tantular lewat karyanya Kakawin Sutasoma, juga mendeskripsikan beberapa mangsa di dalam sistem Pranatamangsa di era kekuasaan Majapahit. Meski yang terakhir ini mesti diperiksa lebih jauh secara seksama.
Kakawin Sumanasāntaka, karya Mpu Monaguna ditulis sekitar 1204 tahun Saka, pada era Kadhiri, selepas kekuasaan Airlangga, tepatnya pada masa pemerintahan Sṛngga-Keṛtajaya. Menariknya di dalam pupuh terakhir Kakawin itu, disebutkan Sri Warṣajaya sebagai guru puisi dari mpu Monaguna.
Menurut Soepomo, Sumanasāntaka adalah salah satu dari sekian banyak karya Sastra Jawa Kuno yang tampaknya tidak bertahan di Jawa,[4] tidak muncul lagi pada masa kebangkitan sastra Jawa masa Yosodipura hingga Ranggawarsita. Faktanya harus diakui, tokoh-tokoh utama tidak tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa – nama mereka tidak muncul dalam karya sastra Jawa di kemudian hari, juga tidak muncul dalam tradisi wayang. Sumanasāntaka memuat makna “riwayat kematian oleh sekuntum bunga Sumanasa”, sebuah kakawin yang sangat panjang, menuturkan Romantika kisah cinta Pangeran Aja dan Dewi Indumati. Sesuai janji Mpu Monaguna, Kisah Sumanasāntaka berakhir tragis seturut pandangan masyarakat modern, tetapi dipandang penyelesaian membahagiakan seturut pandangan masyarakat agraris Jawa Kuno.
Deskripsi perihal Pranatamangsa di Kakawin Sumanasāntaka berada di pupuh 28 :[5]
Dikisahkan bagaimana dalam perjalanan Pangeran Aja mengikuti swayambara memperebutkan Dewi Indumati. Mpu Monaguna mengkisahkan perjalanan sang Pangeran secara menarik, memakai metrum Girisa, yang sepertinya membuatnya leluasa menuturkan sulitnya perjalanan di kawasan pegunungan,membuat metafora lanskap, lantas menukik ke informasi wisata, diakhiri dengan menyebut nama sebuah wuku :
3.
wukir ajajar ahaṇḍap-haṇḍap śūnya mangililan
kadi kukusan amuñjung puñcaknyârnĕb inululan
hana talaga ring agra ndan wwainyâhangĕt ahasin
pinara-paran ing adyus baryan landĕp awukiran[6]
Pangeran Aja dan para pengiring memutuskan beristirahat di sebuah desa besar, sejurus setelah mendapat disambut oleh seorang petapa kerajaan, juga setelah kepala desa sanggup menyediakan tempat istirahat yang representatif. Petapa itu menyambut Pangeran dan pengiringnya yang dulu dikenalnya ketika masih penyair istana. Setelah perjamuan, Pertapa menjelaskan kepada pangeran tentang ciri-ciri khusus tiap-tiap bulan dalam penanggalan Jawa di lokasi yang terpencil.
Pada bulan Srawana, kemarau mencapai puncaknya. Pohon-pohon kehilangan kesegarannya, daun-daun menjadi merah dan rontok, sehingga dalam mangsa karwa ‘bulan kedua’ beberapa pohon menjadi gundul, tanpa daun.
17.
sĕḍĕng ing asujimāsâtyantêng kaṣṭa gatarasa
karikil ika kumĕṇḍĕng tūt mārgâmacĕki suku
saha panas i hĕnunyâdoh wwe nora pinalāku
tuhun amuhara ramyā sakweh ning wwang ika jĕnĕk[7]
18.
jalada kadi pĕtĕng yan tĕmbe ning kapat alangö
jawuh amĕkasakĕn rĕm ring kaywan hañar asĕmi
wahu mari panangis ring kālangkyang sukha sumayab
asiga kadi tinambang wahw inantukan agirang[8]
19.
tṛṇa taru paḍa meltik wijanya n masa kalima
wawang aluru kapingrĕs tūt mārgângĕlih alume
linaran i kĕñar ing wai yan lunghā ng rĕmĕng anisih
kadi pamanas i kung ning kanya dūra n atĕlĕba[9]
20.
hañar abañu tĕgalnya n kānĕm tapwan acarĕcĕh
kadi sinipatan aprih mārganyâracĕk abĕnĕr
turah i wĕrĕh ikang warṣâsat kāri kasarakat
asĕmu pupur areh tūt pinggir ning halis inamĕr [10]
21.
brata nika ri sĕḍĕng ning māghâdyus rahina wĕngi
jawuh angapitu tan pāntyâdrĕs mangkin akĕcĕhan
angura-ngurangi teja hyang candrârka kaginĕman
sukha salabuh ikang lunglūngan māri kapingĕlih[11]
22.
lĕbug i palĕmahanyâjro ring phālguna puraci
patuna-tunahan ing lĕmbw âsangsing tahi papungĕn
dwijawara sira baryan rĕngrĕng mogha humaliwat
sumĕpĕr anasi pöhan marmanya n śuci wĕkasan[12]
23.
masa kasanga tĕka trang ndan mātrânĕlani jawuh
ya karana ni latĕknyâtinggar wahw asat anisih
sapapikatana göngĕn tĕmbe ning manuk agalak
tuhun asĕpi hĕnunya lwir agring paḍa cacingĕn[13]
24.
kusuma sahana māywan yan waiśākha paḍa wijah
sĕkar ing asana kantun kady ahyun kalarakĕna
pangirim-irim ikang warṣâher weh ayu ḍumawuh
kadi jaruman anginte rāganīs amawa tangis[14]
25.
muwah asĕkar alasnya jyeṣṭhâmingrwani sahapit
tuhunangurangi rurwan de ning warṣa wahu mulih
tura-turah i gĕrĕhnyâgupyan meh amĕkasana
tuna-tuna kadi pamwit ning harṣâmĕkasi tangis[15]
26.
analahasa langönyêng āṣādhânglarani kawi
pada gumigil anginkin tinghalnyânilingi tawang
kama ḍiḍingen angepw i roganyânggeges angĕsah
kadi kahapit angunngun munggw ing śūnya kakilatan[16]
Pada masa Majapahit, musim kemarau mencapai puncaknya pada bulan Asuji, atau mangsa katiga. Matahari yang melintasi zenithnya terbakar dengan hebatnya di langit yang tak berawan. Dalam ilmu perang yang berlaku pada masa Jawa Kuno, mangsa katiga dipandang sebagai masa yang tepat melaksanakan ekspedisi penaklukan. Raja sebagai penghancur para musuh kerajaan, diibaratkan matahari pada mangsa katiga, yang sinarnya membakar segala. Makanya akan sia-sia bila sekawanan burung beterbangan mencari tanda- tanda akan datangnya hujan. Karenanya Mpu Tantular menyatakan dalam Sutasoma (83.6): dūrasambhawa tang kālangkyang ateneng asuji maririsĕng labuh kapat; sungguh tak masuk akal jika elang kālangkyang mengharap asuji dan menangis pada mangsa kapat. Sesuatu yang tiba-tiba memunculkan rasa duka diibaratkan sebagai hujan lebat pada mangsa katiga yang tidak terdeteksi karena tidak terdengar deru guntur di kejauhan.
Sebaliknya mangsa kapitu (māgha, kasapta, ketujuh), adalah bulan yang paling basah. Hujannya sangat lebat dan berdurasi lama. Lazimnya mangsa kapitu, sarat banjir yang menghanyutkan segala. Penyair Jawa Kuno, banyak yang memakai metafora berbasis mangsa kapitu. Semisal “waspa niradres angapitu” (Kidung Hariwijaya 2.92); atau sumyuk tang rāgawarṣāngapitu (Sumanasāntaka 115.3); juga ngapitu wah nikang lulut.(Smaradahana 24.1).[17] Seombyok anak panah pecah oleh sebab saktinya sang ksatria, diumpamakan bagai “sumyuk lwir jawuh ing kasapta tumibeng wungkal wināśa ng śara.”[18]
Menurut penyair Mpu Monaguna, tidak ada yang bisa bersaing dengan bulan yang sarat dengan keindahan, yaitu bulan karttika, atau mangsa kapat, bulan yang keempat, sekitar Oktober- November. Bulan kegemaran para pencari keindahan. Raja yang sibuk bekerja, akan pergi berlibur, ”yan ring Kārttikamāsa ramya masa ni nghulun ameng-ameng ing pasir wukir”.[19] Begitu juga para penyair, seperti bergegas mengayunkan langkah ke dua tempat libur utama tersebut. Ke tempat-tempat itu pun seorang penyair mengayunkan langkahnya, bila tidak lupa membawa peralatan tulisnya; besar kemungkinan sang penyair akan mendapat petunjuk untuk menulis kakawin oleh para dewa-dewi pelindung bulan Karttika.[20]
Bulan karttika selalu disebut oleh semua penulis kakawin, tapi tak ada yang begitu genuine seperti Mpu Monaguna, yang membuat metafora-metafora menarik berkait dengan bulan Karttika: “tan pānty-anty ampuhan iku bangun Kārttika sadā / manuknyāliuran yan wahu mari jawuh lwir laru-laru”. Setelah mengibaratkan bulan karttika dengan ombak lautan yang tiada henti, selalu terpecah oleh batu-batu karang itu, ia lantas mengumpamakan laron (laru-laru) yang keluar dari tanah setelah hujan pertama. Bahkan keberangkatan Pangeran Aja mengikuti swayambara dewi Indumati juga diibaratkan dengan bulan Karttika, pandangan mata mereka dengan kilat-kilat di kejauhan setelah hujan reda, sedangkan keluh kesah mereka yang lirih meyerupai gemuruh guntur di kejauhan. [21]. Penyair Jawa Kuno cukup mahir dalam bahasa Sanskerta, sehingga ia maklum basanta berarti musim semi, musim penuh bunga, dan kadang-kadang ia mempergunakan kata itu sesuai maknanya. Tetapi bulan Cetra (kasanga) dan Wesakha (kasapuluh) yang di India bertepatan dengan musim basanta, dalam sastra kakawin tak pernah dikaitkan dengan musim semi. Di Jawa bulan –bulan itu tidak memuat sesuatu rasa yang dapat mengilhami perasaan romantis berkait dengan musim semi.
Selain mendeskripsikan secara lengkap pranatamangsa pada masa Kadhiri, Mpu Monaguna juga
menuturkan orang-orang yang tengah berada di pamaḍĕkan, tempat pembuatan garam :
29.8 ngkānê lĕmbah ikâlangö pamaḍĕkan wwang ika wija-wijah paḍângayar
lumrâkweh aputih wuyahnya kasawur sumarasah anamar wway ing* jawuh
awrā tampĕr[22]* ikâgĕlar kasarakat-sarakat asĕmu sāri ning puḍak
harṣâmbĕk sang Aja n tĕkâwuya-wuyah mata tuwin aharip kadînusap[23]
29.9 tambak-tambak akaṇḍa lor kidul i pomahan ika kadi piṇḍa ning sawah
wwangnyârampak amet wĕlut kadi pucang-pucangan ing angurit katinghalan
pakṣinyâgĕng-agĕng humung kadi kĕbo pangulah awurahan silih buru
yan kawrĕg paḍa mör* gumĕntĕr anamar gĕrĕh ing adurugan paḍâwĕrök[24]
Penutup
Sebagaimana telah disinggung di atas, Sumanasāntaka adalah salah satu dari sekian banyak karya Sastra Jawa Kuno yang tampaknya tidak bertahan di Jawa,[25] tidak muncul lagi pada masa kebangkitan sastra Jawa masa Yosodipura hingga Ranggawarsita. Faktanya harus diakui, tokoh-tokoh utama tidak tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa – nama mereka tidak muncul dalam karya sastra Jawa di kemudian hari, juga tidak muncul dalam tradisi wayang. Karenanya pengetahuan pranatamangsa Jawa Kuno dan pengetahuan lainnya yang termaktub di dalamnya menjadi tidak terwariskan ke masyarakat Jawa berikutnya.
Pranatamangsa yang dikenal oleh masyarakat Jawa sekarang, adalah hasil pembakuan yang diresmikan pada 22 Juni 1855 oleh Paku Buwana VII di Surakarta .[26] Sistem penanggalan ini memakai dasar peredaran tahun matahari, dan dibagi menjadi 12 mangsa. Entah “konflik” apa yang terjadi pada masyarakat agraris Jawa pada era-era sebelumnya, sehingga perlu pembakuan sistem tata kerja pertanian yang baru. Sistem pranatamangsa pembakuan PB VII ini selanjutnya tersebar luas ke seantero negeri. Jika dihitung hingga tahun 2024 ini masyarakat agraris Jawa sudah mempratekkan selama 169 tahun, sistem pranatamangsa pembakuan PB. VII. Meski ada wilayah seperti Dasun, Lasem , yang konsisten memakai Pranatabanyu, sistem yang mereka miliki sendiri, dan selaras dengan lingkungan pesisir.
Diduga sistem pranatamangsa pembakuan PB VII, memilki pengaruh besar hingga ke seluruh Jawa, menyelusup masuk di Kasultanan Ngayogjakarta, bahkan pada era selannjutnya pengaruhnya menjangkau Bali . Pengaruhnya semakin membesar, selepas masyarakat Jawa dan Bali mengenal percetakan dan penerbitan buku. Sistem pranatamangsa pembakuan PB VII mulai dicetak, atau menjadi bagian yang harus ada dari sejumlah cetakan buku, mulai dari Almanak hingga ke buku-buku Primbon, seperti Almanak Dewi Sri dan Primbon Betal Jemur Adam Makna, hingga kepada Pelajaran Dewasa (Wariga), karya W. Simpen AB . Bagaimanapun juga pranatamangsa pembakuan PB VII , telah berhasil menguatkan kembali sistem penanggalan yang mengatur tatakerja kaum tani dalam memanfaatkan peredaran musim dari tahun ke tahun.
Sabtu 9 Maret 2024
Setu Kliwon, 27 Ruwah Jimawal AJ 1957
Kurup: 4. Salasiyah. Windu: 4. Sancaya. Pranatamăngsa: 9. Kasanga. Wuku: 12. Kuningan. Padangon: 9. Dadi. Padewan: 2. Bathara Endra. Paringkêlan: 6. Mawulu
Fotografer : Ach. Sholeh Syarifuddin
Lampiran
Penanggalan Barat |
Penanggalan matahari – rembulan |
Penanggalan Musim |
Pranata mangsa (Penanggalan kaum tani Jawa Kuno) |
Pranata mangsa Pembakuan PB VII tahun 1855 |
Pranata Banyu Penanggalan petani garam desa Dasun |
Juli |
1. śrāwana |
warṣa ‘hujan’ |
kasa |
kasa |
|
Agustus |
2. bhadra (-pāda, -wāda) |
|
karwa |
karo |
|
September |
3. asuji (aśwayuja) |
śarat ‘rontok’ |
katiga |
katelu |
|
Oktober |
4. kārttika |
|
kapat |
kapat |
|
Nopember |
5. mārgaśirṣa |
hemanta ‘dingin’ |
kalima |
kalima |
|
Desember |
6. poṣya |
|
kanem |
kanem |
|
Januari |
7. māgha |
śiśira ‘sejuk, kabut’ |
kapitu |
kapitu |
|
Pebruari |
8. phālguna |
|
kawwalu |
kawolu |
|
Maret |
9. cetra |
basanta ‘semi” |
kasanga |
kasongo |
|
April |
10. weśakha |
|
kasepuluh |
kasepuluh |
|
Mei |
11. jyeṣṭha |
grīṣma ‘panas’ |
hapit (lemah?) |
kasewelas (destha) |
|
Juni |
12. āṣāḍha |
|
hapit (kayu?) |
karolah (sadha) |
|
Catatan Kaki :
[1] Gonda, via Zoemulder hlm 241.
[2]Simpen, AB. W, Pelajaran Dewasa (Wariga)
[3]Worsley P, S, Soepomo, Hunter T, Fletcher, M. (ed), 2013 : Mpu Monaguṇa's Sumanasāntaka An Old Javanese Epic Poem, its Indian Source and Balinese Illustrations.
[4] Soepomo, S. 2013. Some Problems in Writing about Contemporary Life as Depicted in the Sumanasantaka
[5] Zoetmulder,PJ. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang hlm. 245-246
[6] Bentangan pegunungan yang berjajar rendah terasa sunyi
Terkesan mirip tungku nasi terbalik, puncak-puncaknya diselimuti hutan lebat.
Di atas ada telaga, airnya hangat dan asin.
banyak orang datang pergi mandi di telaga itu pada setiap wuku Landep.
[7] Saat bulan Asuji tiba, dunia terasa sarat sedih dan pilu
kerikil tajam pelapis jalanan menusuk-nusuk kaki
jalan panas berdebu dan jauh dari air, sertatak banyak yang mesti diperbuat,
hal ini sedikit menghibur, semua orang berada di rumah.
[8] Mendung segelap malam, pemikat pandang awal bulan keempat
Hujan turun tinggalkan jejak baru, semi hutan berselimut kabut halimun
Burung kālangkyang sudahi tangisnya, segera terbang riang melayang di angkasa
dulu kekasih hamil ditinggalkan, kini tiba saatnya berkumpul bahagia
[9] Benih rumput dan pohon-pohon bertunas pada bulan kelima,
Sayang cepat layu, derita nyeri sakitnya tajam menggigit, merana sepanjang jalan
terik matahari menyengat manakala awan hujan berlalu.
Bagai menuntun gadis ke bara gairah, mana bisa berhasil bila terlalu memaksa ?
[10] Tanah baru basah pada bulan ke-enam, namun belum becek.
Tepi jalan yang berawa-rawa bagai alis mata yang digaris hati-hati dengan celak.
Sementara sisa-sisa buih yang bertebaran ditinggalkan oleh hujan kemarau
terlihat begai bedak putih yang dibubuhkan hati-hati di sepanjang lengkung alis.
[11] Bertapa mati-raga tepat dilakukan di bulan Māgha, bisa mandi siang dan malam
Hujan turun terus menerus tujuh kali sepanjang hari.
Menyembunyikan matahari dan rembulan.
Tunas dan ranting yang rapuh bersukacita mengakhiri puasa dan tak lagi merana.
[12] Pada bulan Phālguna, halaman rumah becek semua
dan kandang sapi bergelimang rendaman tumpukan tahi
setiap kali hujan berhenti, secepat kilat para pertapa datangi rumah mengemis susu.
Maka akhirnya bulan ini dianggap suci.
[13] Bulan kesembilan datang, langit cerah, meski tak lama hujan masih turun.
Makanya lumpur memanas dan baru mulai mengering di tepiannya.
Orang mesti waspada, seperti unggas liar mengendap-endap mendekati perangkap burung.
Inilah waktunya jalan benar-benar kosong, seakan semua orang sakit cacingan.
[14] Bunga-bunga bagai bertanding, pada bulan waiśākha, mekar dimana-mana
Hanya bunga asana yang tertinggal dan seakan berharap seseorang akan berucap duka kepadanya.
Hujan musim kemarau tercurah layaknya hadiah. Enggan pergi, hujan turun memberikan keindahan.
Hujan seperti wanita pujaan, melihat dengan nafsu membara, lantas diam-diam pergi seraya membawa air mata.
[15] Pada bulan Jyeṣṭha untuk kedua kalinya, hutan seakan diperas sebelum tahun baru
namun guguran bunga berkurang, sebab hujan baru saja pulang.
Jejak terakhir guntur gemuruh bertutur ramah karena hendak pamit berangkat
Suaranya redam bagai salam perpisahan dari orang bahagia tinggalkan air mata sebagai kenangan cinta
[16] Kesedihan adalah keindahan bulan āṣādha pembuat pilu para penyair
mereka sakit demam, susah payah menatap langit lekat-lekat.
Dalam dingin dan sakit, para penyair menggigil dan mendesah.
Merasa tertekan seolah dipelintir, mereka meringkuk dalam kehampaan gelap, kadang diterangi kilau kilat petir.
[17] Derai deras air mata bagai mangsa kapitu”; Metafora perihal kekuatan dahsyat dari hawa nafsu.
[18] Hujan lebat pada bulan kasapta yang jatuh di atas karang padas (Arjunawijaya 51. 12)
[19] Bila di bulan Karttika, sang raja akan berlibur ke pantai atau ke pegunungan. (Sumanasāntaka 76.3).
[20] Sumanasāntaka 109.1 : angken māsa kapat mahas-ahas ado sahaja majamahan karas tanah; Bhomāntaka
(Bhomakāwya) 1.2: hyang hyang ning Kārttikāngambeki kawi kakawin ring pasir parwatārum.
[21] Sumanasāntaka 54 : 1
[22] GR (I:697) via S. Supomo, memaknai kata tampĕr dan hampĕr sebagai 'garam halus yang dibuat di pantai'.
[23] Pada tempat indah pembuatan garam (pamaḍĕkan), masyarakat gembira bersemangat
Bersama kumpulkan banyak garam (wuyah) putih tersebar merata bagai air hujan.
Tebaran garam halus (tampĕr) terhampar terpisah serupa sari bunga pandan
Makin gembira sang Aja melihatnya sampai “tergaram-garam” tak ingin mengusap mata
[24] Tambak-tambak berderet di utara selatan perumahan, jumlahnya itu seperti di persawahan
Orang-orangnya cekatan mencari belut, tampak mirip memanen di tempat persemaian
ramai burung- burung riuh rendah kicaun bagai gempar kerbau saling berkejaran
makin kalang kabut lenguhan kumpulan kerbau bagai gemuruh guntur di ketinggian
[25] Soepomo, S. 2013. Some Problems in Writing about Contemporary Life as Depicted in the Sumanasantaka
[26] Daldjoeni, N. Penanggalan pertanian Jawa: pranata mangsa, bioklimatologis dan fungsi sosiokulturalnya, Yogyakarta : Proyek Javanologi 1983 : 2.