Oleh Kris Budiman*
Apabila seseorang meluncur di poros horisontal, dari kota Rembang menuju Lasem atau sebaliknya, tampak di matanya tambak-tambak garam. Terpaan visual ini, sungguh, tiada terhindarkan oleh sesiapa yang melintas. Bahkan, andai dia mampu meluncur tegak lurus dengan langit, setidak-tidaknya melambungkan imajinasi secara vertikal, terlihat bahwa tambak-tambak ini memberikan aksentuasi warna distingtif bagi lukisan bentang alam dan lingkungan yang lebih luas. Bidang-bidang putih atau bagai kaca, yang memantulkan terik di sepanjang garis pantai, menjadi indeks bagi keberadaan tambak-tambak itu. Petak-petaknya menandai tepi tanah dan teluk, gunung dan semenanjung. Sanggupkah dia menghindar dari visualitas yang sangat wantah ini?
Apa yang disebut sebagai visualitas, kendati demikian, bukanlah semata produk tindakan retinal-fisiologis (menggunakan mata), melainkan terutama wacana sosial yang bermakna, dapat diberi makna. Secara historis warga Lasem telah terus-menerus, berbilang abad lamanya, memberi makna bagi bentang alam ini, sedemikian sehingga ia menjelma sebagai bentang budaya (cultural landscape). Posisi geografis Lasem, yang tersedia sebagai sebuah kawasan ideal bagi kapal dan perahu untuk berlabuh, sebab terlindung dari gelombang dan angin kencang, merupakan salah satu faktor paling signifikan dalam membangun sistem budaya dan sosialnya.
Komposisi bentang alam yang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan, dengan sumberdaya alam dan lingkungannya masing-masing, sukar dimungkiri, berkontribusi besar bagi bentang budaya dan kehidupan sosial Lasem, termasuk ekonominya. Sebagai sebuah kota pesisir, komoditas yang diperdagangkan tentu mencakup produk-produk yang variatif. Dari kawasan pantainya, antara lain, dihasilkan garam. Namun, Lasem pada khususnya dan Rembang pada umumnya kurang dikenal sebagai “kota garam” dalam sejarah. Tome Pires, misalnya, melaporkan dalam Suma Oriental bahwa Ramee (baca: Rembang) lebih dikenal sebagai negeri (penghasil) beras dan kayu, alih-alih garam.
Kajian Kwee Hui Kian, The Political Economy of Java’s Northeast Coast, c. 1740-1800: Elite Synergy (2006), menunjukkan bahwa garam ― baik diusahakan warga lokal atau monopoli pemerintah kolonial ― merupakan komoditas baru yang potensial semenjak dekade-dekade awal abad XVIII. (Ingat: tambak Tan Ke Wi di Lasem.) Dalam bingkai yang lebih besar, dia juga menyodorkan gambaran tentang bagaimana pada paruh kedua abad XVIII komoditas-komoditas utama, antara lain produk alam seperti garam dan sarang burung; produk pertanian seperti beras, kacang-kacangan, kapas, tembakau, lada, kapulaga, asam, dan ketumbar; produk hutan seperti kayu; serta produk pabrikan (manufactured goods) seperti gula kelapa, benang, dan kain, telah meramaikan Lasem dan kota-kota pelabuhan lainnya di Pesisir Timur-Laut Pulau Jawa.
“Garam adalah sebuah keniscayaan,” ujar Eggy Yunaedi, penggagas Bancakan Rupa. Sulit untuk membantahnya. Tiada kurang peribahasa dan perumpamaan yang menekankan ini. Selain terhubung dengan produk-produk budaya lain, garam niscaya bersentuhan secara resiprokal dengan dunia masak dan, dengan demikian, praktik makan dan makanan. Hingga hari ini, tradisi (Jawa) tertentu masih mengenal satu genre makanan yang bernama ambengan dan mempraktikkan santap sosial (social meal), berbagi makanan, dalam format bancakan. Bancakan adalah bagian penting dari slametan, ritual dasar masyarakat Jawa. Melalui bancakan inilah warga menikmati, bersantap-bareng, hidangan khas ambengan yang tersaji di atas lembar daun pisang atau tampah-tampah.
Bentang “lukisan” yang dikerjakan Eggy Yunaedi ― sebuah kerja kolaboratif dengan para petani garam dan warga Desa Dasun ― menyiasati media garam di atas “kanvas” Tambak Gede, yang sudah beroperasi sejak 1940-an. Peranti (ubarampe) yang ditonjolkan tersusun atas elemen-elemen alam spesifik: bumi (tanah) dan laut (air); udara (angin) dan matahari (api). Keempatnya direlasikan lebih jauh dengan tiga elemen konstitutif budaya Lasem: kejawaan, ketionghoaan, dan keislaman. Keseluruhan peristiwa yang menyajikan ambengan metaforis ini diwadahi dalam Bancakan Rupa. Oleh karena itu, mau tidak mau, konteks situasional dari peristiwa ini adalah kenduren atau slametan, di samping konteks historis yang sudah dipaparkan barusan.
Slametan tergolong sebagai ritus intensifikasi lantaran fungsi integratifnya, yaitu untuk mengafirmasi-ulang jaringan sosial, mengumpulkan warga dalam kebersamaan. Dalam ritual ini kerap berlangsung praktik perputaran pemberian, semisal bancakan. Di sini makanan yang tersaji sebagai ambengan menempati posisi simbolis dominan, menjadi pusat peristiwa. Bahkan para partisipan ritual masih bisa membawa pulang hidangan yang tersisa untuk berbagi dengan keluarganya. Ritual ini, meminjam kata-kata Clifford Geertz (1973: 142) dalam kitab klasiknya, The Interpretation of Culture (1973: 142), berperan untuk “reinforce the traditional social ties between individuals; strengthened and perpetuated through the symbolization of the underlying social values upon which the social structure is rest.”
Sebagai sebuah ritual, singkatnya, ia tiada lain daripada sejenis perjamuan yang berdampak solidaritas. Melalui proses ritual dasar ini rasa komunitas (a sense of community) ditekankan, solidaritas dikuatkan. Semua memperoleh berkat, ketenangan jiwa dan raga (slamet). Semuanya, tanpa kecuali, sebab tiada seorang pun merasa dirinya dibedakan dari yang lain. Setiap orang adalah sesama.
“Quiet, undramatic little ritual.” Demikian Geertz (1973: 147) menarik simpul bagi ritual ini. Tidak dramatis, katanya. Padahal, baik di dalam antropologi performans maupun kajian seni pertunjukan, sering dinyatakan bahwa ritual tidak mudah diperbedakan dari teater. Batas di antara kedua genre ini tipis saja: di satu sisi terdapat teater yang “menghibur,” menyenangkan; di sisi lain ritual yang “mujarab” (efficacious), berorientasi pada kepercayaan. Apa yang dikategorikan sebagai ritual selalu tertuju kepada problem eksistensial; memberikan artikulasi simbolis dan tematisasi hubungan di antara jagat duniawi (sosial) dan rohani (spiritual).
Pernyataan Geertz itu, dengan kata lain, seakan berseberangan dengan Rendra yang pernah mementaskan drama Selamatan Anak-Cucu Sulaiman. Tidak bisa dikatakan bertentangan, sesungguhnya. Pementasan Bengkel Teater Rendra justru dapat terjadi berkat kecerdasan kreatif dalam menyiasati ketidakdramatisan ritual tersebut. Harapan kita, berkaitan dengan peristiwa Bancakan Rupa, Eggy Yunaedi yang berkolaborasi dengan para pemulia garam dapat mentransformasi “Rewang Ambengan” sebagai media seni visual yang dinamis. Sebagaimana slametan yang tak-dramatis itu dapat berubah dramatis di tangan yang tepat, peristiwa Bancakan Rupa pun diharapkan dapat berkontribusi sebagai faktor dinamis, menjadi garam bagi lingkungan dan budaya Lasem.
*)PROFIL SINGKAT KRIS BUDIMAN
Kris Budiman, penulis yang berminat pada seni rupa, budaya visual, sastra, dan kepurbakalaan. Doktor di bidang kajian budaya ini selama tiga tahun terakhir menerbitkan beberapa buku: Blues Rindu (2020, terjemahan atas puisi-puisi Langston Hughes) dan Tatanan Wacana (2022, terjemahan atas esai Michel Foucault, “The Order of Discourse”). Novel terbarunya, Hierofani: Sebuah Fiksi Perjalanan (2023), segera terbit. Sejak 2013 menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space, Yogyakarta.
tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB
foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto