bukan lautan hanya kolam susu
kail dan jala cukup menghidupimu
tiada badai tiada topan kau temui
ikan dan udang menghampiri dirimu
(Koes Plus)
Sebait lagu ciptaan Koes Plus -grup musik pop Indonesia legendaris tahun 70an- ini telah ikut membentuk imajinasi masyarakat Indonesia akan kekayaan alam dan laut di Indonesia. Imajinasi tersebut tidak berlebihan, setidaknya bagi nelayan dan petani tambak Desa Dasun hidup yang hidupnya bergantung pada aktivitas bahari. Europe Commission mencatat Indonesia sebagai negara penghasil perikanan laut terbesar kedua di dunia. Namun data BPS 2019 menunjukkan 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta nelayan berada di bawah garis kemiskinan.
Mbah Kuyono adalah figur nelayan tradisional senior di Desa Dasun. Kebijaksanaan hidup mengajarkan agar mbah Kuyono tidak pernah merasa kekurangan, namun nelayan Dasun seperti mbah Kuyono tidak juga pernah beranjak dari kesederhanaan hidupnya. Mbah Kuyono pernah merasakan masa ketika nelayan bisa berangkat melaut dengan perahu yang hanya mengandalkan angin untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kini perahu-perahu tidak hanya ditenagai angin yang menghembus layar tapi juga dibantu oleh mesin yang menggerakkan baling-baling perahu. Meskipun demikian tidak berarti kehidupan nelayan menjadi makin mudah. Kehadiran perahu-perahu cantrang dengan ukuran yang lebih besar dan tehnologi yang lebih “maju” telah menjadi ancaman. Nelayan tradisional kini harus makin jauh melaut, sementara tangkapan kian hari justru cenderung makin berkurang. Godaan untuk ikut menggunakan cara tangkap yang merusak alam makin hari makin menguat. Beroperasinya perahu cantrang dengan alat tangkap yang merusak ekosistem dasar laut dan menangkap segala ikan termasuk-ikan-ikan yang masih kecil, dikhawatirkan akan mengancam keberlangsungan perikanan laut dan kehidupan nelayan. Ancaman tidak hanya berasal dari laut, limbah industri batik dan kerajinan logam kini mulai mempengaruhi air Sungai Dasun dan memberi dampak buruk bagi ekosistem muara sungai yang berada di Desa Dasun yang memasok air baku untuk tambak sekaligus tempat berkembang biak ikan.
Sebagian besar warga Dasun menyimpan kisah tentang desanya yang memiliki jejak kemaritiman yang panjang. Para nelayan selalu menambatkan perahunya di sungai, lokasi yang pernah menjadi pelabuhan yang penting dan ramai di waktu lampau. Di sungai jalur kami biasa berlalu lalang juga terdapat situs galangan kapal yang pernah memproduksi kapal-kapal sejak dari era Majapahit dan Demak, yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut mejadi penguasa lautan Nusantara. Namun nelayan Dasun tidak sempat bermimpi tentang kembalinya kegemilangan imperium militer dan perdagangan nenek moyang kami. Sebagai nelayan kami cukup berharap agar laut tidak dirusak. Berharap agar hutan bakau di sepanjang sungai tetap hijau menjadi tempat berbiak ikan dan binatang laut. Berharap agar anco - bangunan bambu untuk menjaring - di sepanjang sungai tetap mampu menangkap udang, rebon, ikan blanak, bandeng bahkan kakap. Berharap agar para nelayan bisa tetap menangkap ikan, udang, cumi, teri dan rajungan sesuai musimnya, atau sesekali mengantar wisatawan lomban menikmati laut dan keindahan Pulau Gosong. Berharap agar muara sungai tetap mampu menyuplai air baku yang baik buat saudara kami yang mengupayakan budidaya bandeng dan garam di tambak.
Petani tambak Dasun yang membudidayakan tambak secara komplemen membutuhkan pasokan air yang baik untuk melangsungkan budidaya bandeng secara organik dan menghasilkan garam yang berkualitas. Tambak memiliki ikatan yang dalam dengan para petani, bukan hanya sebagai aktivitas produksi komoditi namun sebagai bagian dari praktek kebudayaan atas pengetahuan tradisional yang diwariskan olah para pendahulu kami. Dengan ikatan emosional serta pemahaman atas karakter fisik garam, bersama dengan Eggy Yunaedi -seorang perupa kelahiran Rembang- kami telah mengembangkan garam sebagai media ekspresi, dengan cara membuat lukisan dari garam untuk menyampaikan narasi sekitar keseharian kami sebagai petani tambak. Karya lukisan garam kami yang berjudul “Bancaan Rupa” telah ditetapkan oleh Museum Rekor Dunia MURI sebagai lukisan garam terbesar di dunia. Kami juga telah berkesempatan memamerkan karya berjudul “Pranata Banyu” di sebuah galeri di Yogyakarta.
Pada pameran Arthefact 3.0 yang dilangsungkan di Museum Bahari, Jakarta pada 22 Agustus - 26 Oktober 2024, kami menghadirkan lukisan yang bertutur tentang permasalahan dan mimpi-mimpi nelayan di desa kami. Butiran garam kami gubah menjadi citra ikan, udang, cumi-cumi dan rajungan yang membentuk formasi ananta (invinity) yang melingkupi aktivitas nelayan; mencerminkan memori yang diproyeksikan menjadi harapan akan perikanan yang menghidupi, lestari dan berkesinambungan. Terinspirasi oleh lagu ciptaan Koes Plus yang berjudul Kolam Susu, lukisan garam kami beri judul “Kolam Susu, Memory of the Future”. Lukisan ini adalah ungkapan artistik kami atas kehidupan, permasalahan dan mimpi-mimpi para nelayan, saudara sedesa kami. Lukisan garam ini adalah sebuah potret kecil bidikan kami sebagai orang-orang yang terkait langsung dengan permasalahan besar sekitar krisis lingkungan yang dihadapi oleh dunia. Adakah di antara kita yang tidak terkait?
(EY)
Judul Lukisan : “KOLAM SUSU, MEMORY OF THE FUTURE”
Dipamerkan di pameran internasional Arthefact 3.0, Museum Bahari; 22 Agustis -26 Oktober 2024
Media : Garam
Ukuran : 210 x 630 cm
Seniman :
Mulyono
Arif Yulianto
Angga Hermansah
Achirudin Bayu Christiyanto
Eggy Yunaedi
Pendamping:
Sujarwo
Exsan Ali Setyonugroho