Oleh Exsan Ali Setyonugroho*)
Garam yang rasanya asin itu, ternyata menyimpan sejarah yang sangat panjang. Garam menjadi kebutuhan manusia sudah beberapa milenium tahun lampau. Digunakan untuk alat tukar, penyedap rasa, perawat kecantikan, keperluan medis, ritual kepercayaan, mengawetkan makanan sampai mengawetkan mayat seperti mummy di Mesir. Pantai Utara Jawa termasuk Desa Dasun Lasem, tambak garam juga menjadi saksi lintasan sejarah garam yang melegenda. Garam Pantai Utara Jawa menjadi salah satu komoditas yang menggerakan jaman. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 menuliskan; Selain beras sebagai sumber kalori, Garam dan ikan asin adalah yang paling banyak diperdagangkan pada abad 15 dari Pulau Jawa. Lebih lanjut Reid mengatakan, di sepanjang pantai Utara Jawa terdapat petak-petak tambak yang diisi air laut untuk dikeringkan oleh matahari yang kemudian menjadikannya kristal garam. Jika musim penghujan, petak tambak itu digunakan untuk budidaya ikan. Komoditas inilah yang menjadi yang utama diekspor oleh pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa antara Juwana sampai Surabaya (termasuk Lasem).
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya mengungkapkan bahwa meskipun Pulau Trunajaya (Madura) bercirikan laut yaitu penggarapan tambak garam, namun rupa-rupanya di Madura penghasilan itu tidak terlalu tua. Lombard melanjutkan bahwa prinsip tambak garam pada masanya hanya di kenal di Pantai Utara Jawa dan di derah Pengasinan, Pulau Luzon , Filipina. Ada pula garam yang tersebar di nusantara juga berasal dari Koromandel, Siam dan Koncin Cina. Bahkan ada sumber primer yang menyebutkan daerah Bluluk, Lamongan sebagai penghasil garam karena ada sumber air asin, itu termuat dalam Prasasti Biluluk berangka tahun 1366. Penulis menduga garam telah menjadi bagian kehidupan awal manusia di Pulau Jawa. Meskipun masih perlu diperdebatkan, dalam Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung dening Mbah Guru, ada bab berdirinya Kutha Lasem pada 21 Juni 882. Kata Lasem berasal dari Kamala (sejenis buah-buahan) dan Bekasem (Ikan yang diawetkan dengan garam).
Sebelum produksi garam di nusantara dimonopoli oleh penjajah, tambak-tambak di Pantai Utara Jawa berhasil menghasilkan garam terbaik. Madura sentra pulau garam ternyata tak lepas dari peran kolonial Belanda. Sejarah Garam di Madura tidak terlalu tua jika dibandingkan dengan Pantai Utara Jawa. Belanda membuat Madura sebagai sentra produksi garam karena curah hujan minim, pembuat garam mudah diatur dan diawasi daripada di Pantai Utara Jawa. Tahun 1870 produksi garam di Nusantara dimonopoli Belanda. Dibuka produksi garam di tambak-tambak khususnya di Pulau Madura. Kemudian terbit Staatblad Van Nederlandsich Indie Nomor 73 tahun 1882, menyangkut larangan pembuatan garam kecuali di tempat yang telah ditentukan oleh Pemerintah Belanda. Produksi garam boleh dilakukan di tambak-tambak atas ijin pemerintah kolonial, dengan konsekuensi garam harus diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan.
Maka tak heran banyak petak tambak di Pantai Utara jawa pada tahun 1870 an sampai kemerdekaan hanya digunakan untuk budidaya ikan bandeng sepanjang tahun. Karena memproduksi garam di tambak telah dimonopoli Belanda di tempat tertentu khususnya Madura. Itulah mengapa ada Tambak Gedhe Dasun, satu satunya tambak garam (tambak bengkok kepala desa) yang terlihat di foto udara tentara sekutu tahun 1947 di antara ratusan tambak di Lasem. Ada narasi yang berkembang di masyarakat Desa Dasun, Lasem tentang belajar membuat garam dari orang madura setelah kemerdekaan. Ada pengusaha Thionghoa Lasem bernama Bi Ang Dei membawa beberapa orang madura ke Dasun Lasem untuk membuat garam bersama masyarakat di tambak Dasun. Sampai sekarang para pemulia garam Dasun itu masih eksis. Ilmu pengetahuan garam di tambak telah kembali dan berhasil menghidupi masyarakat Dasun.
Tambak dan garam adalah warisan ilmu pengetahuan, situs cagar budaya dan arkeologi yang masih difungsikan, dilestarikan dan telah menghidupi masyarakat selama ratusan bahkan ribuan tahun-sampai sekarang. Begitu dekatnya masyarakat pantura dengan tambak. Khususnya Desa Dasun, Lasem, tambak sudah menjadi urat nadi matapencaharian selain sebagai nelayan. Untuk mendukung kelestarian tambak garam, diperlukan upaya yang wajib didukung semua pihak. Setidaknya perlu saluran irigasi tambak yang baik, kualitas air baku dari sungai yang baik, identifikasi tambak dan narasinya, produk hukum seperti RTRW yang melestarikan tambak garam, kebijakan yang membela para pemulia tambak garam, jika perlu menetapkan tambak garam sebagai kawasan cagar budaya nasional.
*)Exsan Ali Setyonugroho - Carik Desa Dasun, Penulis Buku Dasun: Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya
tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB
foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto