dasun-rembang.desa.id-Sujarwo lahir di Grobogan, tepatnya di kota Purwodadi tanggal 17 Mei 1968. Ia adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Ahmad Suhadi[1] dan Sutini. Saudara kandung Sujarwo di antaranya: Sukristiyowati, Mohammad Yasin, Suhardono, Trimurtini, dan Zaenuddin Albar. Sujarwo pernah sekolah di STM Pertanian Demak. Saat itu ia dipungut menjadi anak dari seorang Pamannya. Sang Paman menginginkan dirinya menjadi pewaris dan keturunannya karena belum dikaruniai putera. Pada saat yang sama, istri pamannya juga mengambil ponakannya untuk dijadikan anak. Pada saat itulah Sujarwo merasa tidak enak karena muncul tanda-tanda yang tidak harmonis di dalam rumah pamannya. Semenjak itulah Sujarwo, terhitung kurang dari tiga tahun, ia memutuskan untuk keluar Demak.
Beberapa tahun kemudian Sujarwo mulai meniti karir dengan bekerja di rumah makan, tepatnya di kawasan pantura. Ia mulai menerapkan materi dari SMK Pertanian, khusunya materi tentang teknik olahan hasil pertanian. Tugas utama Sujarwo adalah belanja ikan bandeng Dasun yang terkenal gurihnya. Tiap pagi ia ke desa Dasun untuk membeli bandeng segar dari tambak. Mulai saat itulah ia sering berinteraksi dengan Kasiyatun, pedagang bandeng Dasun.
“Ya, khususnya bandeng, sampek sekarang itu orang di pasar, pasar Pamotan, pasar Lasem, pasar sekitaran sini, itu yang dicari tetep bandeng Dasun. Kalau bandeng Juwana, apalagi bandeng Gresik, itu beda rasanya, dan itu kayaknya yang menggiring saya jatuh cinta sama orang Dasun, bandenge pilihan.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Suatu ketika Sujarwo jatuh sakit. Ia tidak lagi bisa mengambil ikan bandeng Dasun. Pada saat itulah Kasiyatun yang gantian mengirim bahan masakan rumah makan yang dikelola oleh Sujarwo. Pada saat Sujarwo jatuh sakit, Kasiyatun cukup perhatian dengannya. Interaksi antara Sujarwo dan Kasiyatun semakin dekat. Ia juga pernah mengantarkan Sujarwo berobat ke dokter hingga mijitin agar Sujarwo lekas sembuh.
“Karena deket tadi, mbuh nak wes due pikiran suk tak pek mantu, yo ra ngerti, tapi karena kedekatan itu ibu ke sana, ngeroki, trusan opo pijet, opo berobat itu perhatian sekali kepada saya, itu yang menjadi satu awal tumbuhnya cinta saya, saya sampaikan tadi witing tresno jalaran soko kulino tadi.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Kasiyatun adalah istri dari Tumijo. Pasangan yang kemudian menjadi mertua Sujarwo ini dikaruniai tiga orang anak, yaitu Suparmi, Supriyati, dan Suparmono. Suparmi tanggal pada lahir pada tanggal 21 September 1973. Supriyati lahir pada tahun 1977. Dan Suparmono lahir pada tanggal 14 September 1981.
Suatu ketika Sujarwo diminta Kasiyatun untuk datang ke rumahnya. Kasiyatun menyampaikan tujuannya mengundang Sujarwo ke rumah adalah untuk dikenalkan anak pertamanya, yaitu Suparmi. Anak pertama Suparmi ini memang jarang di rumah karena sedang bekerja di Yogyakarta. Pertemuan singkat pada hari Minggu di rumah Kasiyatun itu telah memberi harapan cinta Sujarwo. Ia mengaku terpana dengan pandangan pertama yang telah diawali dengan interaksi baik antara dirinya dengan ibunya.
“Ini kan sesuatu sekali, dan saya tidak langsung del, kalau cinta emang iya, pandangan pertama itu ada, aku ketoke cocok, karena saya akan mengukur dari bagaimana interaksi pertama.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Batin Sujarwo mulai gundah pasca pertemuan di rumah Kasiyatun. Ia mengaku tidak dapat tidur tiga hari tiga malam memikirkan hal itu karena sejak lama ia telah digadang-gadang orang tuanya untuk dijodohkan dengan anak seorang modin Banjarejo, Mojoagung, Purwodadi Grobogan. Ahmad Suhadi dan Sutini berharap dengan sangat, kelak Sujarwo dapat kembali ke rumah.
“Bapak saya sendiri itu sudah punya gadangan anak yang akan dikumpul mbesok nak tuane, ceritane seperti itu. Mau tidak mau harus dicarikan jodoh di sana. Sana kebetulan juga temen perangkat, pada waktu bapak dulu, Mbah Modin, itu saya dulu mau dijodohkan sama anaknya Mbah Modin.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Kegundahan yang disebabkan undangan ke rumah Kasiyatun itu membuat Sujarwo bergegas pulang ke rumah asalnya. Di sana, selama beberapa hari, ia berseteru dengan ayah dan ibunya karena silang pendapat kepada siapa Sujarwo harus menikah. Karena tidak mendapatkan kesepakatan, Sujarwo kembali bekerja di Rumah Makan Mitra desa Pandangan Kragan sampai kemudian sang bapak menghubungi dan memintanya untuk memikirkan kembali tentang niatan menikah dengan anak bakul bandeng Dasun itu.
“Suatu ketika saya jawab ke bapak saya, saya seneng sama orang Dasun, saya ketoke mau serius ke jenjang pernikahan, bapak nanting saya sampek semalem, di istikhoroi, engko petunjukmu piye, petunjuke bapak piye, sampek sejauh itu bapak memberikan keleluasaan saya dalam rangka memilih sesuatu.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Sujarwo bergegas pulang ke rumah asal. Selama beberapa hari ia berseteru dengan Ayah dan Ibunya karena terjadi silang pendapat kepada siapa Sujarwo harus menikah. Sujarwo menolak pilihan orang tuanya. Sedangkan oranguanya tetap memaksa untuk menuruti pilihan orang tuanya. Karena tidak menemui titik temu, Sujarwo kembali kerja di Rumah Makan Mitra yang ada di desa Pandangan kecamatan Kragan. Suatu ketika ia ditelpon Bapaknya untuk memikirkan ulang pilihannya menikah dengan anak pedagang ikan bandeng tersebut. Sujarwo pun bersikeras tetap dengan pilihannya. Berbagai cara dilakukan oleh orang tuanya agar Sujarwo pulang dan menikah dengan anak seorang modin itu. Alih-alih sang Bapak ingin mengambil hati sang putera dengan cara melakukan sholat istikharah.
“Planning itu kan manusiawi, tapi jodoh itu kan Allah yang punya. Akhire semalem itu, di dalam mencari petunjuk Allah, kami tetep dengan pegangan saya, saya tetep, condong ke Lasem, saya hidup ke Lasem, akhire ngalah Bapak. Ngalah, yo wes nak iku dadi putusanmu, sing mantep, lakukan apa yang menjadi impianmu.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Sejak itulah Sujarwo memberanikan diri mengenal Suparmi lebih dekat. Pertama kali ia jalan bersama di saat perayaan Kupatan Rembang. Sujarwo masih malu-malu dengan kencan di Taman Kartini. Ia bersama Suparmi hingga pulang, namun belum berani mengantarkan Suparmi sampai rumah Kasiyatun.
Sebelum mengenal Kasiyatun, Sujarwo adalah pedagang pakaian keliling dari kawasan Kudus hingga Bojonegoro. Ia keliling dari kampung ke kampung membawa aneka macam pakaian. Pada mulanya ia memagang lapak pakaian di wilayah Rembang sejak tahun 1987 bersama saudara kandungnya. Berhubung bos pemilik lapak tersebut pindah ke Solo, Sujarwo mengikuti instruksi sang Bos berkegiatan di Solo mengurus paket pakaian yang kala itu sedang marak-maraknya. Berbekal riwayat kerja yang bagus, Sujarwo dipercaya memegang lapak pakaian di Kudus. Inilah kali pertama Sujarwo mengenal dunia usaha.
Berbekal pengalaman mengurus usaha pakaian yang sukses, Sujarwo dipasrahi Bos untuk mengelola rumah makan yang hampir bangkrut. Usaha pakaian dan rumah makan berjalan beriringan saat itu. Namun karena persaingan yang cukup keras, rumah makan yang terletak di Pandangan diputuskan pindah ke Kragan. Kepindahan rumah makan tersebut dikarenakan adanya kesepakan baru berupa perpanjangan sewa warung harus yang disertai dengan crew-nya. Sujarwo berpandangan etos kerja crew rumah makan tidak sesuai dengan harapan pemilik rumah makan dan tidak ada dukungan kebutuhan air tawar dan lingkungan. Pada saat itu ia masih bersama kakak kandungnya. Dengan perjuangan yang cukup keras, rumah makan baru yang ada di Kragan pun mulai ramai.
Buah dari mengelola rumah makan tersebut, Sujarwo mematangkan rencananya membangun rumah tangga. Pada bulan Desember tahun 1995 ia memutuskan menikahi Suparmi. Diiring keluarga besar Mojoagung beserta kerabat perangkat desanya dalam melangsungkan prosesi akad nikah Sujarwo dengan Suparmi dilaksanakan di desa Dasun. Sejak saat itulah Sujarwo resmi menjadi orang Dasun.
Sejak menjadi menantu pemilik tambak bandeng Dasun, Sujarwo mulai belajar budidaya ikan yang selama ini ia beli untuk warung makan. Sekarang Sujarwo menjadi nelayan Dasun. Sujarwo sangat dicintai mertuanya. Uang hasil transaksi jual bandeng di warung makan, ia belikan perahu untuk kado spesial pernikahannya.
“Saya ya, sama mertua, dibelikan perahu, kemudian saya juga hidup sebagai seorang nelayan, yang mana, setiap habis shubuh berangkat melaut, nanti dhuhur pulang, itu kami lakukan setiap hari, sekaligus juga ikut rumat tambak karena mertua saya punya tambak, milik mertua sendiri.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Pada awal tahun 1996 nelayan perahu kecil di pesisir utara Rembang merasakan dampak penggunaan pukat cantrang. Hasil tangkapan mereka mulai turun karena habitat ikan cenderung rusak akibat penggunaan kapal cantrang. Biaya operasional berlayar terkadang lebih besar daripada hasil tangkapannya. Walaupun terdapat aturan tidak diperbolehkan menggunakan cantrang[2], namun hal itu tidak diindahkan[3]. Bahkan pada tahun 1997 terdapat aturan petunjuk teknis yang cenderung membolehkan kembali penggunaan cantrang[4]. Dampak pelarangan cantrang ini masih terasa hingga menimbulkan sebuah guncangan hebat bagi nelayan khususnya nelayan cantrang[5].
Dalam keadaan tersebut, Sujarwo mulai mencari penghasilan lain dengan cara berternak ayam dan kambing. Ia mulai membeli puluhan ekor ayam dan empat babon kambing. Keberanian untuk beternak ini dilatarbelakangi pengalaman Sujarwo memelihara kerbau milik pamannya di Purwodadi. Tetapi niatan beternak menjadi pupus ketika empat babon kambing mati semua sebelum punya anak.
Namun Sujarwo tak patah arang. Ia berkeinginan memiliki rumah sendiri karena selama lima tahun awal pernikahannya ia masih satu rumah dengan mertuanya. Dengan sepinya hasil tangkap ikan dan gagal dalam ternak kambing, Sujarwo mencoba untuk budidaya kepiting. Ia mencoba budidaya kepiting di tambak mertuanya yang dekat dengan sungai desa. Tujuh puluh kilo gram anak kepiting dimasukkan ke tambak. Sujarwo tidak memiliki pengalaman dalam budidaya penggemukan kepiting. Setelah beberapa bulan menggeluti kepiting, akhirnya semua kepiting yang dimasukkan tambak itu mati semua.
Setelah mencari informasi tentang teknik budidaya kepiting, akhirnya Sujarwo memindahkan kepitingnya ke keramba. Pada musim kemarau, ia mulai membuat dua keramba di sungai Dasun. Namun debit sungai saat kemarau cenderung kecil dan sering terjadi aktivitas menangkap ikan disungai dengan obat keras. Akibatnya, kepiting yang digemukkan selama beberapa bulan tidak beranjak gemuk dan hasil panennya tidak maksimal.
Sujarwo semakin penasaran dalam budidaya kepiting. Dengan semangat ingin punya rumah sendiri, Sujarwo memberanikan diri untuk membuat 7 keramba kepiting. Sejak tahun 1997 keramba kepiting yang dulu ia pasang di bibir sungai Dasun dipindah ke bagian dalam sungai yang memiliki debit dan arus air. Siang dan malam Sujarwo menunggui kerambanya. Dengan totalitas semangat, sampai tidur di sela-sela akar mangrove yang rimbun, akhirnya Sujarwo berhasil memanen kepitingnya. Hampir tiap minggu ia dapat menjual kepitingnya ke pengepul yang rumahnya di Kaliori Rembang. Dari hasil ternak kepiting itu Sujarwo dapat menabung untuk dibelikan material bangunan.
“Malah sampek gini, ada orang boro dari daerah Gresik, ngomong kalau di daerahnya sana, kepiting tidak ada harganya. Wah, ini peluang bagus, akhirnya saya mencoba untuk berangkat, habis shubuh saya berangkat, naik bis, sampek pangkah itu mau dhuhur, dan ternyata sampek di sana, harga kepiting malah sudah di atas Rembang.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Sembari melaut dan mengurus tambak bandeng mertuanya, Sujarwo semakin nyaman dengan kegiatan budidaya penggemukan kepiting keramba. Namun selang tiga tahun, bahan baku bibit kepiting semakin langka. Ia mencoba untuk mencari bibit kepiting mulai dari Jepara, Demak, hingga Gresik. Namun karena kelangkaan bibit kepiting pada saat itu, tujuh keramba yang telah banyak menghasilkan tabungan itu harus ditutup pada tahun 2000.
“Kepiting kalau mau bener-bener ditangani, keuntungane luar biasa, karena dalam waktu satu minggu kalau saya punya 7 keramba itu, bisa mengelolanya, per lima hari, per seminggu, bisa panen, dan satu kerambanya itu bisa untuk makan, disisihkan untuk ditabung, itu akhirnya habis, tidak ada bahan baku.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Pada tahun 2000 hingga 2004 situasi hasil tangkapan nelayan terpuruk. Hasil tangkapan nelayan menurun semakin drastis. Dampak dari cantrang telah merubah haluan aktivitas para nelayan[6]. Alat tangkap cantrang yang menjadi kabar baik[7] pemilik kapal-kapal besar dan anak buah kapal[8] telah merusak habibat biota laut[9].
“Kepiting, rajungan, itu di pinggiran yang selama ini saya ambil luar biasa itu, kayak-kayak berhenti total, dadi laut kena paceklik itu hampir merata, wes ra ono kepiting, ra ono rajungan, ra ono teri, ra ono urang, itu, akhirnya saya pindah haluan.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Masyarakat Dasun telah mengenal Sujarwo. Dengan keseharian menjadi nelayan dan keberaniannya dalam hal budidaya penggemukan kepiting, pada tahun 2003 Ia dipilih menjadi Ketua Paguyuban Nelayan Dasun-Tasiksono. Salah satu orang yang mendorong Sujarwo menjadi ketua paguyuban adalah Samino, seorang warga Dasun yang menjabat ketua BPD desa Dasun. Kegiatan andalan paguyuban tersebut adalah melaksanakan sedekah laut. Sujarwo juga pernah didorong mencalonkan diri menjadi carik desa Dasun pada tahun 2000. Pada saat itu terdapat terdapat 7 calon sekdes, dan setelah ujian tes tertulis, terdapat 5 orang yang tidak lolos tes. Pada saat itu yang terpilih menjadi carik adalah Titik Hartini[10] yang cakap dalam hal administrasi desa, namun sayangnya di kemudian hari Ia harus dipindah dari Dasun karena sesuatu hal.
“Kalau Bekel Bapak, kalau Bapaknya Bapak itu seorang Sekdes, dari saudara mbah saya itu semua, eee, jadi Kepala Desa. Dari yang mbarep, kemudian mengangkat adiknya yang Mbah Mad Prongso itu dadi Kepala Desa Prongso, kemudian yang di Mojoagung sendiri itu, eeee, mbah Darmo juga Kepala Desa.” (Sumber: Wawancara dengan Sujarwo, 31 Agustus 2020)
Pada tahun 2007 Sujarwo mengikuti kontestasi pencalonan Kepala Desa Dasun. Pada saat itu terdapat dua warga yang maju menjadi calon kepala desa yaitu Sujarwo dan Subani. Majunya Sujarwo menjadi kepala desa atas dorongan keluarga, kerabat, saudara, dan teman-teman nelayan. Selain itu Sujarwo juga mendapatkan semangat dari keluarganya sendiri.
Penulis : Exsan Ali Setyonugroho/ Dasun: Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya
[1]Ahmad Suhadi adalah mantan seorang Bekel di desa Karangrayung Grobogan
[2]Lihat Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring Trawl.
[3]Lihat lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
[4]Lihat Surat Keputusan Dirjen Perikanan No. IK.340/DJ.10106/1997 tentang petunjuk pelaksanaan SK Menteri Pertanian No. 503/Kpts/Um/7/1980 tentang kriteria jaring trawl yang menjadi landasan legal penggunaan cantrang
[5]lihat Sari (2017:) tentang studi Etnoekologi Nelayan dan Jaring Cantrang di Kabupaten Rembang. JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo), 1(2), 135-146.
[6]Lihat Andryana (2016:04) tentang dampak cantrang yang telah merubah hubungan sosial dalam kehidupan nelayan
[7]Lihat Ambarwati dan Adi (2019:24) tentang aksi komunitas cantrang, dimana cantrang telah merubah kehidupan ekonomi dengan penuh harapan, dan ketika ada pelarangan cantrang, para nelayan mengajukan protes dengan cara blokade jalan
[8]Lihat Pahlefi dan Hidayat (2017:2013) dengan kajian implementasi dan kebijakan pelarangan cantrang yang justru mengakibarkan masyarakat nelayan semakin sengsara
[9]Lihat Hakim dan Nurhasanah (2016:219) tentang masalah dan solusi cantrang dimana alat tangkap cantrang adalah dapat mengancam kelestarian sumber daya ikan
akibat selektifitas yang rendah dan dapat merusak lingkungan
[10]Lihat Keputusan Kepala Desa Dasun Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang Nomor: 141/06/2001 tentang Pengangkatan Sekretaris Desa Dasun Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang