You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.

Sistem Informasi Desa Dasun

Kec. Lasem, Kab. Rembang, Prov. Jawa Tengah
Info
Laman Resmi Pemerintah Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Sekretariat: Balai Desa Dasun, RT.01,RW.01, Dasun, Lasem, Kode Pos: 59271, No Telp: 085726949461 | Dasun Maju | Desa Pemajuan Kebudayaan Kemendibud |

Palet Warna Warni Di Balik Lukisan Monokrom


Palet Warna Warni Di Balik Lukisan Monokrom

Oleh Eggy Yunaedi*)

Terlahir sebagai orang Rembang barangkali adalah daya dorong utama bagi saya untuk menyoal garam. Awalnya adalah eksplorasi media dan bahan, sebuah keinginan lazim di antara para perupa untuk menjajal kemungkinan berekspresi dengan media baru. Entah kenapa bentangan tambak yang berbentuk persegi dengan permukaan halus dan rata suatu kali terlihat bak kanvas yang siap dilukis. Sedangkan warna, tektur dan karakter fisik garam memang mudah dibentuk menjadi garis, bidang dan gradasi untuk menciptakan citra dua dimensi. Keinginan membuat sebuah karya dengan memanfaatkan elemen alam yang sering dikenal sebagai environmental art tercetus tiba-tiba. Sesederhana itulah awal dari keinginan untuk melukis garam di atas tambak.

Sejak keinginan membuat environental art di tambak  itu muncul, saya jadi lebih sering mengalami perjumpaan dengan garam, entah secara fisik maupun berupa wacana melalui bacaan dan diskusi dengan orang-orang yang bersentuhan dengan garam. Garam adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Garam merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tubuh. Garam memiliki sejarah yang panjang seumur peradaban manusia. Garam adalah produk budaya yang memiliki keterhubungan dengan produk budaya lain dalam membentuk peradaban. Rembang yang memiliki predikat sebagai Kota Garam justru tidak memiliki narasi terkait dengan garam. Catatan beratarik 1832 menunjukkan bahwa garam adalah salah satu komoditi ekspor penting dari Rembang. Ada  pula Tambak Gede di desa Dasun Lasem yang ditengarai sebagai situs tambak garam tertua di daerah Rembang, bahkan mungkin di daerah pantura.

Tambak Gede di Dasun merupakan bengkok yang menjadi hak lurah atau kepala desa yang sedang memimpin. Tambak ini menyimpan sejarah yang panjang yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Dasun itu sendiri. Di dalamnya ada orang-orang yang tidak hanya menggantungkan hidupnya dari garam tapi juga mendapatkan identitasnya dari desanya yang dikepung oleh tambak garam. Mereka memuliakan dan mewarisi pengetahuan yang menubuh dalam budidaya garam. Ada punden, ada tradisi dan ritus yang hidup, ada kisah yang masih dituturkan di sekitar tambak di Dasun yang turut membangun konsepsi atas ruang hidup warganya.

Sampai di titik ini tiba-tiba saya melihat keinginan untuk membuat environmental art di atas tambak merupakan sikap yang angkuh, semena-mena, lahir dari kepicikan yang banal. Tambak bukanlah ruang kosong, sementara putihnya kristal garam tidak berarti dia steril dari anasir sekitarnya. Tambak bukan hanya entitas fisik dan alat produksi pun garam bukan sekedar komoditas. Tambak adalah ruang kultural yang memiliki pundi-pundi simbolik berlimpah, menyediakan palet warna warni untuk sebuah lukisan yang bermakna bagi warga, ketimbang bahan apapun dari luaran sana. Pun seandainya saya mencoba berempati dengan melukiskan perihal teralineasinya petani garam dalam sistem ekonomi yang kapitalistik, apa yang saya lakukan bisa jadi tak lebih dari menuang lapisan tipis minyak di atas air. Tambak garam tidak membutuhkan orang lain untuk membuat kisahnya sendiri.

Saya kehilangan keinginan mewujudkan karya saya sendiri, kacuali itu dilakukan dengan kolaborasi bersama petani dan warga setempat. Saya berkeyakinan bahwa petani garam dan warga setempat adalah pihak pertama yang punya daulat untuk berkisah lewat tambak dan garam mereka.  Mereka pula yang harus memberi makna atas kegiatan yang dilakukan. Tapi apa makna sebuah environmental art bagi petani garam? Jangan-jangan ini cuma kegenitan yang tak ada juntrungan buat mereka.

Angin mungkin lebih terlihat nyata bagi petani garam ketimbang apa itu environmental art. Namun gagasan memang suka srawung dan pada akhirnya akan menemukan jalannya sendiri. Pada sebuah diskusi beraroma kopi dan asap tembakau saya dan warga Desa Dasun menemukan motif yang sama antara praktek berkesenian dengan tradisi bancakan. Sebagai sebuah media demi terhubungnya gagasan seorang individu dengan khalayak, praktek kesenian tak ubahnya sebagai sebuah bancakan. Sejatinya bancakan adalah manifestasi doa dan ungkapan rasa syukur dengan cara berbagi secara kolektif. Bancakan adalah momen perjumpaan warga desa dengan cara berbagi, mengambil peran yang dengan demikian memantabkan posisi seseorang sebagai bagian dari semesta yang lebih luas. Manunggaling jagad gede karo jagad cilik, bersatunya microcosmos dengan macrocosmos. Begitulah petani garam dan warga dasun memaknai kegiatan ini. Kami berjabat sepakat memberi tajuk Bancaan Visual, yang kemudian berubah menjadi Bancaan Rupa.

Sebagaimana jamaknya bancaan, warga berbagi ambengan berujud hidangan makanan dengan berbagai lauk. Dalam Bancaan Rupa kali ini petani garam dan warga desa Dasun berbagi ambengan dalam bentuk sajian rupa yang bisa dinikmati khalayak. Di dalam ambengan rupa tersebut disajikan tujuh ubo rampe berupa visualisasi bumi, matahari, air dan angin serta gunungan, naga dan burung hong ser­­­ta ornamen islami. Tujuh elemen yang terdiri dari empat elemen alam dan tiga elemen budaya itu juga diwujudkan dalam tujuh kerucut garam melambangkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas alam dan budaya yang memberi penghidupan kepada petani garam maupu­­n masyarakat Dasun. Semoga di musim mendatang garam memberi penghidupan yang makin baik kepada petani dan warga desa Dasun. Kabul kajate. Amin.

*)PROFIL EGGY YUNAEDI

Eggy Yunaedi adalah perupa kelahiran Rembang, tinggal di Bekasi. Menyelesaikan pendidikan di Ilmu Komunikasi UGM, dua puluh tahun lebih Eggy bekerja di dunia kreatif sebagai creative director di beberapa agensi multinasional, dan memenangkan puluhan penghargaan nasional maupun internasional, seperti di ajang Citra Pariwara, Asia Pacific Advertising Festival, Spike Asia Award dll. Eggy kini lebih banyak bekerja sebagai perupa dan  pegiat kebudayaan. Pada saat ini Eggy menjadi Panel Ahli Platform Kebudayaan Indonesiana, Ditjenbud Kemendikbudristek RI.

­­Selain kerap melakukan aksi speed painting, Eggy juga  sering melakukan aksi seni rupa di ruang publik dalam skala besar , di antaranya adalah “Melangitkan Doa” yang turut memeriahkan Harlah 1 Abad NU di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu. Karya tersebut dicatat oleh Museum Rekor Muri sebagai display doa terbanyak dan terbesar di dunia. Karya Eggy dalam skala raksasa yang lain adalah lukisan berjudul “Suluh Samin” yang dibuat dari 2000 obor pada peringatan 1 abad perjuangan Samin Surosentiko.

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

Bagikan artikel ini:
Komentar