You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.

Sistem Informasi Desa Dasun

Kec. Lasem, Kab. Rembang, Prov. Jawa Tengah
Info
Laman Resmi Pemerintah Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Sekretariat: Balai Desa Dasun, RT.01,RW.01, Dasun, Lasem, Kode Pos: 59271 | Dasun Maju | Desa Pemajuan Kebudayaan Kemendibud | Desa Anti Korupsi KPK RI

Susur Sungai dan Bersantai di Pantai Dasun, Lasem


Susur Sungai dan Bersantai di Pantai Dasun, Lasem

Oleh Nasirullah Sitam 

Nyatanya Lasem tak hanya mempunyai destinasi wisata heritage saja. Dua hari di Lasem, tepatnya di desa Dasun; aku dapat mengeksplor desa ini dari potensi lainnya. Sungai, pantai, dan pulau pun ada di Lasem. Hanya saja, selama ini yang paling dominan didengung-dengungkan adalah wisata heritage.

Tetap saja, susur sungai pun masih ada kaitannya dengan sejarah. Termasuk adanya sungai Dasun sendiri merupakan sungai buatan pada masa penjajahan. Aku menjadi bersemangat mengawali pagi dengan jalan kaki melintasi tambak garam, menuju sungai Dasun.

Jalan setapak, setiap sisi adalah tambak garam; tanah berlumpur sedikit lembab. Aku dan rombongan melintasi jalan tersebut menuju deretan kapal kayu kecil yang tertambat di jembatan kecil. Sungai Dasun adalah lahan mangrove, yang membelah beberapa desa dan dimanfaatkan masyarakat sebagai jembatan.

Kapal yang hendak kami menaiki untuk susur sungai sudah siap. Bergegas kami naik satu per satu ke atas kapal. Pemandu (Mas Eksan) beserta pemilik kapal dan anak kecilnya menyambut kedatangan kami. Salam, senyum, dan jabat tangan; itulah yang kami lakukan kali pertama bertemu.

Menyusuri sungai Dasun menggunakan kapal kayu

Mesin diesel kapal bunyi kencang, kapal melaju pelan mengikuti ritme tuas tali yang ditarik pemilik kapal. Susur sungai Dasun menyenangkan, seakan-akan kita sedang menyusuri hutan mangrove yang di beberapa titik terdapat rumah serta tempat bersandarnya perahu-perahu nelayan.

Kami bercengkerama di atas kapal. Beberapa teman rombongan yang baru kekenal dari kemarin. Walau baru kenal, kami sudah cukup akrab. Mungkin komunikasi di grup WA membuat kami serasa sudah kenal. Air sungai berwarna gelap, tak terlihat dasar sungai

“Airnya sedang surut, semoga saja kapal yang kita naiki bisa sampai ujung. Kalau tidak ya kandas,” Terang Mas Eksan.

Bukan kabar baik bagiku, tapi aku percaya bahwa tidak ada yang sia-sia. Toh selama ini jalan kapal tetap melaju santai, tidak ada tanda-tanda akan kandas. Informasi yang kudapat dari pemilik kapal, airnya dangkal. Hanya setinggi pinggang orang dewasa.

Kami melintasi tempat keramaian, di sana ada banyak anak-anak sedang memancing dari atas perahu. Aktivitas warga yang memancing pun kami lihat, ada juga sebuah masjid di salah satu kampung yang tidak jauh dari sungai. Spontan aku dan beberapa teman melambaikan tangan ke arah anak-anak yang sibuk memancing.

“Seperti turis saja kita,” Celetukku.

“Turis domestik,” Timpal temanku.

Mesin kapal yang kami naiki dimatikan, kapal kayu ini melaju pelan mengikuti arus air sungai. Mas Eksan menerangkan sebuah tanggul kecil yang hanya berlabur semen, kerikil, dan pasir laut tidak jauh dari sebuah perahu sedang tertambat.

Dulunya tempat ini adalah galangan kapal pada masa penjajahan. Lasem dulu dikenal sebagai tempat pembuatan kapal. Jauh sebelum itu sejarah mencatat jika etnis Tionghoa dulu kali pertama mendarat di Lasem itu di sungai Babagan. Sungai yang membelah dekat desa Dasun.

Sungai Dasun sendiri dibuat untuk jalur transportasi, tempat pembuatan kapal, sekaligus sebagai jalur pelayaran Candu dari Lawang Ombo ke berbagai penjuru. Sementara ini di Lasem, tinggal beberapa tempat saja yang tetap membuat kapal. Padahal dulu kapal dibuat masyarakat Lasem sangat tersohor. Galangan/Dok kapal yang berada di sungai Dasun ada tiga, lokasinya tidaklah berjauhan. Hanya saja yang terlihat hanyalah sisa-sisa peninggalannya saja.

Sisa-sisa tanggul galangan kapal di sungai Dasun

Selain melintasi tiga titik bekas dok/galangan kapal di Dasun, kami juga diarahkan pemandu menuju satu spot tempat bangkai kapal. Bongkahan bangkai kapal tersebut menyisakan bagian lambung kapal, bahkan kayunya sudah nyaris keropos, berbalut lumut.

Seperti apapun kondisinya, bangkai kapal tersebut tidak diperbolehkan diambil karena sudah tercatat sebagai cagar budaya. Ketika kami kunjungi, tidak jauh dari bongkahan bangkai kapal tersebut terlihat seseorang yang sedang mancing ikan. Banyak catatan di sekitar sungai Dasun dulu banyak kapal karam, hanya saja sekarang tinggal menyisakan bongkahan saja.

Sisa-sisa kerangka kapal yang karam di sungai

Kapal terus melaju menyusuri sungai, tanpa sengaja kapal berhenti. Ternyata kapal kandas tidak jauh dari bongkahan kapal yang karam. Bergegas mas pemilik kapal turun ke sungai, lalu mendorong kapal berbalik arah. Benar kata mas tadi, air memang hanya setinggi pinggang orang dewasa. Kapal berlanjut menuju pantai Dasun.

Pemecah gelombang di pantai Dasun
Kapal kayu yang kami naiki bersandar di gumukan pasir, tepatnya di tengah-tengah aliran yang memisahkan dua pantai. Aliran air tersebut tidak luas, hanya selebar lima meter, dan itu menjadi satu-satunya tempat keluar masuk kapal yang pulang ataupun pergi ke laut.

Pelawangan istilahnya bagi orang Jawa. Pelawangan berarti pintu, tempat keluar masuk kapal. Tidak berapa lama, ketika aku sedang main di pantai Dasun, sebuah kapal melewati pelawangan tersebut menuju jembatan yang ada di sungai.

Kapal nelayan melewati pelawangan

Pantai Dasun baru dikembangkan oleh warga setempat, disokong desa. Aku melihat sekeliling pantai yang masih sepi. Hanya ada segelintir pemuda-pemudi yang bermain. Mereka duduk asyik di gubuk kecil, ada juga yang main air. Sempat kutanyai salah satu di antara mereka, rata-rata mereka dari Rembang dan Pati.

Endapan pasir-pasir yang terbawa oleh ombak berkumpul di pantai Dasun. Tiap musim angin timur, endapan ini membentuk sebuah daratan layaknya gosong. Dan pada musim angin barat, endapan pasir menghilang terkikis ombak besar. sayangnya pantai Dasun ini masih banyak sampah berserakan, rata-rata sampah merupakan kiriman dari laut.

Bersandar di pantai Dasun

Sembari menunggu waktu siang, kami berkumpul di salah satu gubuk yang sudah disediakan. Di sini rombongan melepas lelah sembari menikmati makan siang. Pantai Dasun juga terdapat pohon cemara, sehingga terasa teduh.

Walau belum banyak yang datang ke pantai Dasun, setidaknya ini menjadi alternatif pilihan kala berkunjung ke Lasem. Kita bisa melakukan aktivitas susur sungai atau sekadar bersantai di pantai. Aku melepas lelah, menikmati sepoinya angin laut menjelang siang. Cukup terik cuaca di pantai ini.

Air laut di pantai Dasun sedang surut. Pasir terhampar luas sampai tengah laut. Kontur pantai yang landai membuat para pengunjung jauh berjalan ke tengah, dan air hanya sedalam mata kaki. Pasir tidak berwana putih, namun sedikit kecoklatan. Bisa jadi karena pasir halus ini bercampur lumpur di sekitarnya, terutama di sungai Dasun.

Jejeran beton pemecah gelombang berbaris rapi menghadap ke laut. Semacam tembok besar yang siap menjadi tameng kala ada musuh datang menyerang. Beton-beton tersebut disusun tiga tingkatan, dari kejauhan seperti jembatan. Pemecah ombak tersebut berada tidak jauh dari lokasi pelawangan.

Hamparan pasir di pantai Dasun
Beton pemecah gelombang di pantai

Siang makin terik, aku kembali berkumpul dengan rombongan. Kami menikmati makan siang di tepi pantai. Sedikit terdengar dari obrolan tersebut yakni tentang usaha warga setempat menjadikan pantai Dasun sebagai destinasi alternatif untuk berwisata. Semoga saja segera terealisasikan.

“Jika waktunya memungkinkan, kita nanti akan menyeberang ke pulau gosong,” Terang mas Eksan.

Pulau Gosong? Apa aku tidak salah dengar? Aku tidak tahu kalau di Rembang nyatanya ada beberapa pulau yang bisa dikunjungi. Jadi aku tekankan sekali lagi bahwa Lasem tidak hanya menyajikan wisata heritage, kalian bisa juga melirik wisata alamnya sebagai tambahan daftar destinasi wisata ketika main ke Lasem.

*Lasem, 18 – 19 November 2017.

Nasirullah Sitam- Blogger | Fans Liverpool & Persijap Jepara | Bike To Work | Jika ke Karimunjawa, singgahlah sejenak di gubuk kami| Asal Jepara, sementara mendulang rezeki di Jogja. Bekerja sebagai staf perpustakaan. Meluangkan waktu untuk mengunjungi beberapa destinasi wisata di daerah dekat, lebih suka diajak sepedaan. Jika ada keperluan dengan saya, silakan menghubungi saya via sosmed/email. Twitter: @Nasirullah5itam Email: [email protected].

Bagikan artikel ini:
Komentar