Oleh : Jefri Tri Afrianto*
Sebuah cerita dari Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang yang berada di pinggiran Sungai Lasem dan sebagai tempat berhentinya kapal-kapal Belanda pada saat itu. Kini, sejarah akan bentuk-bentuk fisiknya masih bisa kita lihat, terjaga, terawat, dan dilindungi oleh sesepuh desa ataupun masyarakat setempat.
Angin berhembus dari arah yang berlawanan. Mentari pagi membawa sebuah kedamaian. Sinar matahari terpancar dari ufuk barat. Menampakkan keindahannya yang menawan, bagaikan selendang bidadari yang dibentangkan. Pada mulanya nusantara ini mempunyai kerajaan-kerajaan besar, akan tetapi seiring perkembangan zaman sejak kedatangan bangsa Eropa ke tanah nusantara ini atau Indonesia, perkembangan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia semakin mengkhawatirkan dan runtuh seperti kerajaan Majapahit (Hindu) dan kerajaan Demak (Islam).
Pada abad ke-18 di wilayah Kadipaten Lasem tepatnya di wilayah pesisir pantai di ujung utara kedatangan sebuah kapal yang cukup besar yang di dalamnya ada 2 orang bangsawan dari Tionghoa yang tidak tahu mengapa dia mendarat di wilayah tersebut. Kedatangan mereka di tanah Kadipaten Lasem itu karena kedua bangsawan itu kelaparan dengan tujuan utamanya dia ingin berdagang di selat Jawa, akan tetapi ketika di perjalanan dia dirampok oleh bajak laut.
pada saat itu, daratan ini belum banyak penghuninya dan masih menyerupai hutan, banyak pepohonan, dan wilayahnya sebagian tergenang air. Kedua bangsawan dari Tionghoa itu bernama Daesoen dan Mamboeng. Mereka adalah sahabat karib yang suka maupun duka ia jalani bersama-sama tanpa mementingkan ego atau dirinya sendiri, kepentingan bersamalah yang bisa memecahkan suatu permasalahan yang ada.
Semilirnya angin laut membuat mereka berdua mempunyai ikatan yang erat dengan wilayah ini. Derasnya ombak pantai yang ada di ujung utara Kadipaten Lasem menandakan ada jiwa yang kuat dengan kedatangan mereka. Pagi yang cerah berubah menjadi pagi yang indah dengan ditumbuhi pepohonan yang rindang ketika mereka berdua berjalan ke arah selatan
Ketika berjalan, mereka menengok ke kanan dan ke kiri memandangi setiap pohon-pohon yang ada di sekitarnya untuk mencari makan. Setelah berjalan kaki cukup lama, Daesoen dan Mamboeng belum mendapatkan makanan, kemudian mereka bertemu penduduk yang ada di situ, mereka sangat ramah dan mereka berdua diberi makanan untuk mengganjal perut.
Dan setelah mereka makan, meraka beristirahat di sebuah pohon yang sangat besar dan rindang. Pada saat itu, mereka tidak mempunyai tempat yang nyaman untuk beristirahat. Mereka membuat sebuah gubuk (bangunan yang berdinding bambu atau gedek) untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Setiap hari mereka selalu pergi bersama menjalani kehidupan yang serba sulit, karena mereka dianggap penduduk asing di wilayah tersebut. Akan tetapi, dengan semangat dan tekadnya itu membuat mereka semakin yakin bahwa mereka akan disegani di wilayah ini.
Pagi berganti siang dan siang pun berganti malam. Ketika lelah sudah tidak bisa ditahan lagi, maka terlelaplah mereka. Pada saat tertidur, Daesoen bermimpi untuk mengubah wilayah ini menjadi perkampungan atau desa yang damai dan tentram. Ketika mereka tertidur, mendengar suara ayam berkokok dan sinar matahari muncul dari ufuk barat, terbangunlah mereka dari tidur lelapnya.
Setelah terbangun dari tidurnya Daesoen berkata kepada Mamboeng, “Tadi malam saya bermimpi untuk mengubah wilayah ini menjadi sebuah perkampungan atau desa, bagaimana pendapatmu kawanku Mamboeng, apakah kamu setuju dengan usulanku?”
“Aku setuju dengan usulanmu kawanku, itu ide yang sangat bagus. Akan tetapi, sekarang ini jumlah penduduk di wilayah ini sangat tidak memungkinkan untuk dibuat perkampungan karena wilayahnya banyak tergenang air”, kata Mamboeng.
Daesoen pun berpikir dan terdiam, ketika Mamboeng menanggapi seperti itu. Dia melihat ke pohon besar itu dengan raut muka yang gusar, seolah-olah dia hanya melihat satu arah saja yaitu kearah pohon besar itu. Angin yang membawa daun berterbangan ke arah yang berlawanan. Burung-burung mengeluarkan suara yang nyaring dan merdu, terasa bahwa mereka berdua yang hanya berada di situ tanpa ada penduduk yang banyak.
Daesoen mengajak Mamboeng untuk menyusuri wilayah itu dan memandangi sebuah pepohonan yang sangat indah.
“Temanku Mamboeng, alangkah indahnya wilayah ini, aku sangat senang tinggal di sini temanku, apakah perasaanmu seperti yang aku rasakan?”, tanya Daesoen.
“Tentu saja aku sangat suka dengan tempat ini temanku Daesoen, alangkah eloknya wilayah ini”, kata Mamboeng.
“Mari kita melanjutkan perjalanan kita lagi”, kata Daesoen.
“Baiklah, mari kawanku”, kata Mamboeng.
Malam pun akan tiba, seiring sang mentari akan meredup menutupi tubuhnya. Mamboeng telah terlelap tidurnya dengan berbaring di bawah gubuk tetapi Daesoen masih memikirkan rencana apa yang harus dilakukan untuk membuat perkampungan di wilayah itu, yang sebagian wilayahnya masih tergenang air.
Beberapa jam kemudian, ia berpikir untuk menutup genangan air itu dengan tanah untuk dijadikan lahan bercocok tanam. Matanya mulai terpejam dengan sendirinya, seluruh tubuh menginginkan untuk beristirahat. Tertidurlah Daesoen di pohon besar itu, sembari dia tersenyum dan bermimpi yang indah bahwa permasalahnya itu akan terselesaikan.
Pagi yang cerah, mendatangkan semangat yang baru bagi Daesoen, “Temanku Mamboeng, saya ingin menutup air ini dengan tanah serta akan kubuat untuk bercocok tanam”, kata Daesoen dengan raut muka yang senang. Mamboeng menanggapi ide temannya itu, ”Aku sangat setuju denganmu kawan, bahwasanya di wilayah ini belum ada yang bercocok tanam, aku akan siap sedia membantumu”.
Ketika itu juga Daesoen dan Mamboeng menutup genangan air itu, pada saat mereka berdua sedang giat-giatnya menutup genangan air itu, para penduduk di wilayah itu melihatnya dan bergegas menghampiri mereka untuk membantunya. Selanjutnya, mereka berdua menananam tumbuhan seperti ketela, padi, dan masih banyak lagi.
Pada saat panen, penduduk sangat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Daesoen dan Mamboeng, karena penduduk di situ mata pencahariannya sebagai nelayan karena dekat dengan pantai. Mereka berdua segera memanen hasil tanaman yang ditanam tersebut dan tidak lupa mereka memberikan sebagian untuk penduduk yang bertempat tinggal di wilayah tersebut dan setengahnya untuk dimakan dan dijual di kota untuk mendapatkan upah.
Penduduk wilayah tersebut mendatangi gubuk kediaman Daesoen dan sahabatnya tersebut, mereka bertanya kepada Daesoen dan sahabatnya tersebut, ”Bagaimana cara kalian mendapatkan hasil bumi sebanyak ini?”. Daesoen menjawab, “Itu semua hanya hanya untuk menghilangkan kejenuhan kami”. Hari telah berganti dan waktu semakin berlalu, penduduk wilayah tersebut semakin bertambah banyak. Karena keberhasilan Daesoen yang mengubah mata pencaharian penduduk tersebut yang semula nelayan menjadi petani. Pada waktu itu pula, Daesoen sangat dihargai dan disanjung-sanjung oleh penduduk tersebut yang semakin lama penduduknya semakin banyak.
Akan tetapi, muncullah rasa iri pada hati Mamboeng, dalam batinnya berangan-angan, “Mengapa saya tidak bisa menjadi seperti Daesoen yang berasal dari bangsawan yang sama?”. Ketika itu pula ada warga yang ingin menamai tempat ini “Desa daesoen” karena dengan jasa Daesoun wilayah ini menjadi damai dan tentram. Sekarang, desa ini dikenal sebagai “Desa Dasun”.
Namun rasa iri Mamboeng tersebut tidak dapat terbendung lagi, Mamboeng minggat atau meninggalkan desa tersebut dan meninggalkan temannya pula, yaitu Daesoen. Mamboeng berjalan ke arah timur tepatnya di sebelah kiri Desa Dasun tersebut dan ingin membangun sebuah desa tersebut dan akhirnya Mamboeng berhasil mewujudkan impiannya tersebut dan wilayah tersebut disebut dengan nama “Desa Mambong” dan sekarang ini desa tersebut telah diubah namanya dan dikenal dengan nama “Desa Tasiksono”.
Seiring berjalannya waktu, yang awalnya bernama Daesoen, kemudian berganti nama menjadi Kongso karena beliau menjadi mualaf dan masuk Islam. Sejak itu pula, Daesoen diangkat sebagai ketua di wilayah tersebut. Sebagai orang yang dituakan di Desa Dasun, beliau adalah ketua yang adil pada rakyatnya dan tidak sewenang-wenang .
Setiap manusia terbuat dari tanah maka akan kembali kepada tanah, begitu pula yang dialami Mbah Kongso tersebut. Semakin bertambahnya umur Mbah Kongso pun meninggal di gubuknya tersebut dan sekarang ini beliau dimakamkan di gubuk tempat tinggalnya yang dekat dengan pohon besar tersebut. Untuk mengenang dan menghargai sesepuh desa, pada bulan Selo masyarakat Desa Dasun mengadakan “ranjen (bersih-bersih desa)” dan mengadakan acara “Selonan” di makam Mbah Kongso dengan cara tukar-menukar jajanan atau makanan yang dibawa tersebut supaya masyarakat tersebut diridhoi oleh Allah SWT. Dan akhirnya, sampai sekarang pada bulan Selo masyarakat Dasun mengadakan acara tersebut.
*) Jefri Tri Afrianto- Warga Desa Dasun, RT.01, RW.01, Lasem/ Naskah ini menjadi yang terbaik dalam lomba cerita rakyat yang diselenggarakan oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan tahun 2017.