Dasun-rembang.desa.id-Tulisan ini merupakan sub bagian dari laporan penelitian karya siswa SMA Negeri 1 Pamotan tahun 2016, Nurul Huzaimah dan Siti Hajar tentang Sedekah Laut Dasun tempo dulu. Tulisan ini menjadi penting di hadirkan kembali, di saat masyarakat Dasun hari ini, Selasa Pahing tanggal 15 Agustus 2017, yang mana tulisan ini dapat menjadi pintu masuk dalam memahami perilaku masyarakat Dasun dalam menggelar Larung Sesaji Sedekah Laut hari ini.
Sedekah Laut Dasun merupakan acara paling sakral bagi nelayan yang berada di Dasun dan sekitarnya yang dilaksanakan setahun sekali. Semua perahu milik nelayan-nelayan Dasun yang berjumlah puluhan semuanya keluar dari muara Sungai Dasun secara berbarengan. Puluhan perahu atau jukung tersebut dihias dengan cat yang beraneka warna, serta umbul-umbul juga terpasang cantik di setiap perahu. Larung sesaji bagi nelayan Dasun adalah sebuah ungkapan syukur atas rejeki yang diberikan laut berupa ikan, teri, rajungan, cumi-cumi, ketiping, rebon, udang, dan lainnya. Puncak sedekah laut ketika puluhan perahu tersebut mendarat di Pulau Gosong yang berjarak sekitar 3 Km dari Muara Sungai Dasun.
Sebelum sedekah laut dilaksanakan biasanya para nelayan sudah mempersiapkan segala sesuatu seminggu sebelumnnya.Mereka mulai meng-ngasak perahu di Muara Sungai dengan membersihkan lambung dan bawah perahu dari runti atau lumut. Dengan menggunakan bekas jaring yang sudah tidak terpakai, para nelayan Dasun membersihkan lambung perahu dengan sabar.Biasanya kegiatan membersihkan dan merapikan perahu sebelum sedekah laut ini dilakukan bersama-sama antar nelayan.
Kegiatan bersih-bersih perahu ini konon dimaknai sebagai ungkapan terimakasih nelayan Dasun terhadap perahu yang selama setahun ini banyak membawa rejeki. Runti adalah hewan yang biasanya menempel di kayu yang berada di dalam air asin, hewan ini sifatnya merusak kayu sehingga nelayan tidak menyukainya jika runti menempel di bawah perahunya.
Setelah membersihkan lambung dan bawah perahu, nelayan Dasun kemudian mulai mengecat perahu dengan cat warna warni. Banyak tercipta motif mengecat perahu bagi nelayan Dasun.Ada motif garis, motif lengkak-lengkok, ada motif genderonan, motif polos, dan lain-lain. Selain itu biasanya nelayan Dasun juga memberikan nama perahu tersebut. Nama-nama perahu ada beraneka ragam, contohnya: Sumber Rejeki, Welas Asih, Wibisono, Sumber Laut, Baru Klinting, Ojo Dumeh, Nerima Ing Pandum, dan lain-lain.
Saat proses pengecatan perahu, biasanya isteri nelayan mengirimkan makanan dengan membawa anaknya. Biasanya isteri nelayan ke Muara Sungai untuk mengirimkan makanan sekitar pukul 14.00 WIB, tegas Exsan.
Anak yang dibawa itu kemudian bermain di Muara Sungai Dasun dengan pantauan orangtuanya, di sana dia juga bertemu dengan teman-teman sebayanya yang juga ikut ibunya mengirimkan makanan untuk ayahnya yang sedang mengecat perahu.
Satelah perahu selesai dicat, nelayan mempersiapkan umbul-umbul atau bendera-bendera untuk dipasang diperahu. Biasanya antar nelayan berlomba-lomba memasanng bendera sebesar mungkin.Konon semakin banyak dan besar bendera yang dipasang di perahu, maka semakin percaya diri nelayan tersebut mengikuti prosesi lomban atau sedekah laut.
Sedekah Laut atau juga kerap disebut lomban, biasanya dimulai pukul 09.00 WIB. Biasanya lomban dilaksanakan sebelum tontonan ketoprak di sore dan malam harinya.Lomban tidak hanya diikuti oleh seluruh masyarakat Dasun saja, melainkan dari desa-desa lainnya di Kecamatan Lasem bahkan Rembang.Puluhan perahu yang mengikuti prosesi sedekah laut menunggu perahu inti pembawa sesaji ditambatan perahu Sungai Dasun. Setelah perahu pembawa sesaji berangkat, maka puluhan perahu mengikuti di belakangnya.Biasanya perahu pembawa sesaji dilengkapi juga dengan musik gamelan untuk mengiring sesaji menuju ke laut.
Perahu-perahu yang mengikuti lomban membawa aneka jajanan pasar untuk dimakan saat di Pulau Gosong. Sebelum ke Pulau Gosong, puluhan perahu yang dipimpin perahu pembawa sesaji mendekati Pulau Putri dekat Desa Leran-Sluke kemudian mendekati Pulau Gosong dan mengelilinginya. Saat mengelilingi Pulau Gosong itulah sesaji yang berupa kepala kambing atau sapi dilarung di Laut Jawa. Baru setelah itu puluhan perahu mendarat di Pulau Gosong sehingga ratusan orang memadati Pulau Gosong.
Pulau Gosong tidak begitu luas, besar kecilnya Pulau Gosong tergantung dari pasang surutnya air laut. Pulau Gosong terbentuk dari karang-karang yang sudah mati namun tak sedikit di sekitar Pulau Gosong terdapat karang yang yang masih hidup. Biasanya karang-karang yang sudah mati diakibatkan dari hantaman ombak barat yang besar.Karang-karang mati, oleh penduduk nelayan biasanya diambil untuk keperluan bahan bangunan rumah.
Saat lomban Pulau Gosong penuh oleh ratusan orang, mereka berasal dari masyarakat Dasun dan sekitarnya. Banyak anak-anak yang bermain-main dengan air laut dan karang Pulau Gosong. Ada pula yang sengaja mencari ikan dan karang hidup atau mati untuk dibawa pulang sekedar dipakai untuk hiasan kolam atau aquarium. Budaya selfie belum ada saat itu sehingga sangat jarang dan hampir tak ada orang yang membawa kamera untuk mengabadikan momen sedekah laut atau lomban di Pulau Gosong.
Saat prosesi lomban selesai ditandai dengan perahu meninggalkan Pulau Gosong. Perahu kembali ke Muara Sungai Dasun dan masyarakat pulang dengan membawa oleh-oleh karang dari Pulau Gosong. Masyarakat senang, dan nelayan pun lega telah menuntaskan rasa syukur mereka atas laut yang memberikan rejeki selama setahun ini.
Juga berfungsi untuk mencari ikan bagi nelayan. Banyak jaring dan dogol yang dipasang disekitar Pulau Gosong. Ikan yang didapat cukup beragam, ada teri nasi, teri cemek, pethek, rajungan, cumi-cumi, dan lain-lain. Ada pula nelayan yang memanfaatkan Pulau Gosong untuk tempat memancing dengan teknik layangan, yaitu memancing dengan menggunakan bambu besar serta tali atau benang yang diikat dengan layang-layang. Penanda kail disambar ikan saat layang-layang bergerak cepat ke bawah. []
Sumber: Penelitian Sedekah Laut Dasun Tempo Dulu, Nurul Huzaimah dan Siti Hajar, hal; 16 s.d 18, tahun 2016