Laman Resmi Pemerintah Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Sekretariat: Balai Desa Dasun, RT.01,RW.01, Dasun, Lasem, Kode Pos: 59271 | Dasun Maju | Desa Pemajuan Kebudayaan Kemendibud | Desa Anti Korupsi KPK RI

Artikel

Dari Kubus Putih Ke Tambak Garam

17 November 2023 06:05:24  Sekdes  421 Kali Dibaca  Berita Desa

Oleh Heru Hikayat*

Seni sesungguhnya kerdil di hadapan alam. Seni adalah ciptaan manusia, sementara alam adalah ciptaan Sang Maha Pencipta. Manusia pun mencipta seni dengan belajar pada alam, artinya belajar pada Sang Pencipta. Datanglah masa modern, yang membuat manusia merasa perlu menujukan segala sesuatu pada dirinya, maka seni pun dibikin seolah “otonom” terpisah dari alam.

Keyakinan akan seni yang “otonom” tampak dari konvensi ruang seni. Baik gedung pertunjukan maupun galeri seni rupa dirancang agar seni dapat tampil dalam wajah terbaiknya. Unsur-unsur alam dihambat, sinar matahari atau suara-suara alami tak dibiarkan “bocor”. Ruang seni harus steril. Manusia tidak dapat mengendalikan sinar matahari ataupun suara alami; sementara di ruang seni, unsur cahaya, suara, perwujudan, semuanya harus dalam kendali manusia.

Dalam wilayah seni rupa, galeri berwujud kubus putih. Di bidang seni pertunjukan, ada panggung proscenium. Keduanya sama: pertama, membuat penonton dan apa yang ditonton berjarak. Kedua, karya seni diandaikan hadir sepenuhnya dalam wajah terbaiknya. Inilah konvensi ruang seni.

Pada perjalanannya kemudian, muncul gerakan seni yang menentang kekakuan ruang-ruang tersebut. Seni lingkungan (environmental art) adalah salah satunya. Karya seni kadang begitu besar hingga tak dapat ditampung dalam galeri. Tapi prinsip dasarnya adalah, seni dikembalikan pada alam.

Kita pun patut ingat, di luar ranah seni modern, seni pertunjukan terbiasa dengan ruang yang tak-memisahkan-antara-penonton-dan-yang-ditonton. Pada ruang-ruang terbuka, peristiwa seni adalah juga keseharian.

Risikonya, seni di tengah alam, tentu harus berhitung dengan sangat banyak hal di luar kendali manusia.

* * *

Ada satu istilah keilmuan yang kerap dikaitkan dengan seni, yakni estetika. Estetika, sebagian mengartikannya sebagai “ilmu tentang keindahan”; sebagian lagi mengartikannya “filsafat seni”. Dalam kedua pengertian ini, estetika hampir selalu dikaitkan dengan seni. Ada pengertian lain yang lebih mendasar, estetika adalah hal-ihwal pencerapan. Dalam pengertian ini, estetika tidak melulu perkara seni; tapi akan mudah mengaitkannya dengan alam.

Saat manusia berada di hadapan (atau di tengah) kebesaran alam, bisa dipastikan manusia itu dibuat terkesan; mungkin kagum, mungkin terharu, atau merasa kerdil, bahkan merasa terancam. Karena demikianlah alam: ia begitu agung, penuh kekuatan, mengayomi sekaligus mengancam. Letusan gunung berapi memusnahkan sekaligus menjadi basis kehidupan bagi banyak makhluk. Di alam, kekuatan penghancur adalah sekaligus daya yang merawat, menghidupi.

Cara terbaik bagi seni adalah selalu belajar pada alam, dalam pengertian, seni selalu membutuhkan cara untuk menggugah, untuk memantik kesan yang mendalam. Karya seni yang baik adalah karya seni yang terus-menerus ditafsirkan, artinya karya seni harus menarik perhatian para penafsir yang produktif. Proses ini hanya bisa dimulai jika pemirsanya tergugah. Tentu saja ada sejumlah faktor lain yang berpengaruh, termasuk perputaran modal dan aspek politik; tapi untuk diskusi kita kali ini, lebih mudah jika kita fokus pada aspek yang membuat sebuah karya seni menggugah.

Konvensi ruang seni dirancang sedemikian rupa agar mengoptimalkan daya gugah itu. Dan ternyata strategi mendasar dari rancangan ini adalah dengan membuat segala sesuatunya bisa dikendalikan oleh manusia. Ada sebagian di antara kita yang memiliki keterampilan menata cahaya. Ia sedemikian terampil mengolah pencahayaan dalam sebuah ruang. Pada kesempatan ini, hal yang hendak digaris-bawahi adalah, keterampilan semacam itu mensyaratkan batas-batas ruang yang mudah dikenali. Batas itu adalah platform (pijakan) di mana karya seni hadir, melenggang-menampilkan-dirinya.

Di tengah keluasan alam, batas itu tak ada. Di tengah alam, manusia kerdil.   

Jika sekelompok orang memutuskan membuat karya seni di ruang terbuka, maka mereka sesungguhnya tengah menyongsong sejumlah risiko. Dilihat dari kacamata seni modern, risiko-risiko ini sungguh tak masuk akal. Tapi jika kita hendak menggeser sudut pandang, barangkali masih ada wilayah-wilayah “tradisi” atau paling tidak kekerabatan komunal yang memungkinkan risiko-risiko itu dikelola. Dugaannya, pada gaya hidup yang masih mampu mempertahankan watak tradisionalnya, risiko hidup di tengah alam diposisikan sebagai keniscayaan belaka. Sementara seni, kadung selalu berangkat dari konteks tertentu. Maka, cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan berupaya sebijak mungkin memahami konteks di latar belakang tersebut.

Apakah di masa kini seni masih punya daya untuk menggugah? Saya menuliskan ini dengan mempertaruhkan kepercayaan: Ya, seni masih mampu menggugah. Bagaimana caranya? Inilah yang dapat menjadi bahan diskusi kita.

Bandung, 15 November 2023

*)PROFIL HERU HIKAYAT

Heru Hikayat adalah alumnus FSRD ITB, bekerja sebagai kurator seni rupa dan aktif dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan budaya, juga menulis ulasan seni, esai, dan obituari ke berbagai media.

Sejak 2018 Heru menjadi tim ahli Platform Indonesiana--sebuah jejaring kerjasama festival kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek RI. Platform Indonesiana adalah salah satu program yang diinisiasi untuk menerapkan Undang-Undang No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Sejak 2018 pula Heru menjadi anggota Koalisi Seni. Koalisi Seni adalah perkumpulan yang mengkhususkan diri pada advokasi kebijakan di bidang kesenian, dengan anggota tersebar di seluruh Indonesia.

Sejak 2020 Heru menjadi in-house curator Selasar Sunaryo Art Space, sebuah lembaga yang berfokus pada pengembangan seni rupa kontemporer secara khusus, kebudayaan visual secara umum, di Bandung.

Heru terlibat dalam banyak penyelenggaraan kegiatan, di antaranya: Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Jatiwangi Artists in Residence Festival, Majalengka, Jawa Barat; Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Seni Bandung#1—A Collaborative Arts Event, Bandung, Jawa Barat; Festival Seni Multatuli, Lebak, Banten; Foho Rai Festival, Belu, Nusa Tenggara Timur; Cerita dari Blora, Jawa Tengah; Palu Salonde Percussion, Sulawesi Tengah; Asiatopia Performance Art Festival, Bangkok Thailand; Edinburgh International Culture Summit, UK; Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM), Candi Prambanan, Jawa Tengah; International Forum for Advancement of Culture (IFAC),  Jakarta.  

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

 Peta Desa

 Layanan Pengaduan Masyarakat

 Video Desa Pemajuan Kebudayaan

 Media Sosial

 Statistik Pengunjung

  • Hari ini:155
    Kemarin:1.009
    Total Pengunjung:686.089
    Sistem Operasi:Unknown Platform
    IP Address:192.168.36.253
    Browser:Mozilla 5.0

 Survei Kepuasan Masyarakat

 Indeks Kepuasan Masyarakat

 Bancaan Rupa (Rekor Muri)

 Podcast Strategi Pemajuan Desa

 Dasun Desa Anti Korupsi

 Dasun Desa Pemajuan Kebudayaan

 Arsip Artikel

26 Agustus 2016 | 39.567 Kali
Sejarah Asal Usul Nama Dasun
01 Mei 2014 | 38.479 Kali
Profil Potensi Desa Dasun
30 Juli 2013 | 38.467 Kali
Profil Kondisi Geografis dan Demografis Desa
07 November 2014 | 38.427 Kali
Pemerintahan Desa
24 Agustus 2016 | 38.398 Kali
Profil Pemerintah Desa Dasun
24 Agustus 2016 | 38.332 Kali
Visi dan Misi Pemdes Dasun 2019-2025
20 Februari 2023 | 21.377 Kali
Mrico Keting Dasun Lasem Rembang