Dasun.desa.id-Siapa yang menduga, dalam dunia pewayangan, daerah pesisir pantai utara Lasem, sebenarnya memiliki corak / pakem / gagrak sendiri. Ciri utamanya adalah percampuran mainan wayang golek dan wayang kulit dalam pertunjukannya, juga pada permainan gending gamelan yang hanya bernada slendro khas Lasem. Nada yang mengesankan suasana sedih, sunyi, muram namun tenang, sunyi dan mengandung harapan. Gending dan tembang-tembang khas Lasem konon katanya diadopsi untuk semua pagelaran wayang kulit pada adegan perang.
Hal unik dari ketujuh wayang golek ini, setiap wayang boleh diberi nama atau tokoh sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya, hanya kyai regol yang tidak boleh diganti. kyai regol harus tetap menjadi kyai regol. dia tidak bisa menjadi arjuna, tidak bisa duryudana, tidak bisa menjadi dewa, tidak bisa menjadi sengkuni, bisma ataupun dorna ataupun menjadi yang lain.
Kyai Regol memiliki makna sendiri. kyai regol memiliki latar sebagai seorang jelata, rakyat yang hidup sederhana tapi kinasihan (dikasihi) raja lagi menjadi pendamping dan dipercaya raja. kyai regol dari karakter wajahnya menunjukkan bahwa dia masih muda, tapi karena tinggi wawasan ilmu dan bijak, dia diberi gelar kyai. kyai regol mewakili masyarakat bawah yang hadir di sisi raja, pemuda yg sederhana, tak tergantikan, yang menyindir kebijakan-kebijakan ngawur, amanah tapi tidak gila pangkat dan dunia.
Dalam dunia pewayangan umum, kyai regol seperti tokoh semar atau punakawan, di dunia wayang golek sunda sendiri dia dapat disandingkan dengan tokoh cepot. sederhana, lucu, menghibur, namun keramat.
Selain hadirnya wayang golek di awal pementasan dan penutupan wayang, ciri lain dari wayang gagrak pesisiran lasem adalah wayang kulit gagrak lasem memiliki ciri khas sendiri, di antaranya postur wayang kulitnya yang lebih kecil terutama wayang wanita. bahasa yang digunakan juga tergolong cukup kasar seperti karakter masyarakat pesisir pada umumnya. keprak / kecrek memakai bahan dari besi. dan penggunaan gending-gending gamelan dan tetembangan lasem.
Dalam dunia karawitan/gendingan dan tetembangan wayang secara umum, lasem sendiri telah memiliki ciri sendiri yang bernada slendro. beberapa diantaranya bahkan diadobsi untuk gendingan wayang umum pada saat perang gagal. pathet nem yang dikenal secara umum sebenarnya bernama pathet lasem. selain itu dikenal pula ayak-ayakan lasem, srepeg lasem dan suluk lasem
Wayang-Wayang yang Pulas itu, Telah Meminta Pulang
Ki Kartono menuturkan, setelah hampir 30 tahun tutup kelir wayang gagrak pesisiran Lasem, dia sendiri telah kehilangan hampir semua wayangnya. hanya satu yang masih tersisa di kotak wayang, yakni wayang golek ayu. wayang-wayang golek yang lain entah telah ke mana rimbanya. sebagian besar telah rusak dan terbuang, sebagian lagi raib tanpa jejak.
Maka, di usianya yang hampir menginjak kepala enam ini, di saat muncul keinginannya untuk membabar kembali pakeliran wayang gagrak pesisiran Lasem, hatinya cukup ciut untuk mencari wayang pengganti.
Namun, hatinya masih yakin dan percaya, dia masih dapat mementaskan kembali wayang gagrak pesisiran lasem. maka, di susurilah desa-desa untuk bertemu dalang-dalang sepuh yang dulunya juga dalang wayang gagrak pesisiran Lasem. hasilnya nihil, hanya ada satu wayang, golek ratu. itupun ditawar dengan harga selangit dan peminjaman yang rumit.
Ki Kartono cukup tertekan, dan hampir saja membatalkan niatnya menggelar kembali pakeliran wayang gagrak pesisiran lasem. namun, tak ada usaha yang tak sampai. beberapa hari berputus asa, seorang kawan beliau mengabarkan, bahwa di sebuah desa di tepi kota Rembang konon ada yang memiliki wayang golek pesisiran lasem.
Tanpa pikir panjang, beliau menuju ke alamat yang di tuju. di hadapannya, sebuah rumah gubuk dengan seorang nenek yang menimang cucu. di pelataran banyak anak kecil yang bermain-main, di antaranya memainkan boneka kayu berusia ratusan tahun yang telah rusak. wayang-wayang golek peninggalan hanya menjadi mainan bocah-bocah kecil. ada yang kepalanya copot, ada yang tangannya copot, ada yang tak memiliki sandangan (baju) dan kotor tertutup lumpur.
Ki Kartono memberi uluk salam dan bertanya ; “mbah, bagaimana jika tengul-nya (wayang golek) buat saya saja. dari pada tidak terawat? saya harus ganti berapa?”
Tanpa banyak bicara juga, nenek itu mencari kardus dan memasukkan boneka-boneka kayu yang berserakan dipelataran.
“Bapak bawa saja semua, diganti berapapun tak apa, asal bapak ikhlas. cukup buat beli mainan dan baju cucu-cucu saya saja”
Ki Kartono tersenyum, dalam angannya dia teringat bagaimana dulu dia memainkan wayang gagrak pesisiran lasem. dia teringat dulu pernah main selama 15 malam dalam sekali tanggapan sampai membuatnya pingsan saat bermain.
Sekarang, setelah berhasil dipentaskan kembali pakeliran wayang gagrak pesisiran Lasem di desa asal dalang, Sendang Asri, pada tanggal 29 agustus 2016 lalu, Maka pada momentum “Srawung Sedulur Soditan” ini, pada tanggal 8 September 2016, hari kamis malam, Pakeliran Wayang Gagrak Pesisiran Lasem dengan lakon “Bima Suci” akan kembali di gelar di Pertigaan senteng miring Jalan Gambiran Desa Soditan RT 06, pukul 19.30 WIB – Selesai.
Sugeng Rawuh di Soditan
Selamat Menyaksikan…