Oleh Kris Budiman
1.
Dasun. Desa ini, dengan garis pantai terpanjang di Lasem, secara geografis letaknya sangat tipikal karena berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sisi utara dan muara Sungai Dasun di sisi barat. Maka dari itu, jangan heran jika sebagian besar warganya menggantungkan hajat hidup dari air ― laut dan sungai ―, entah dengan mencari ikan sebagai nelayan ataupun dengan memproduksi garam (pada musim kemarau) dan budidaya ikan bandeng (pada musim penghujan).
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Exsan Ali Setyonugroho dalam Dasun: Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya (2020/2022: 301), Dasun memiliki lebih dari 90 tambak atau mencakup kira-kira ¾ dari keseluruhan area desa. Para petani garam di desa ini secara tradisional masih setia menerapkan pranata banyu sebagai sarana untuk mengidentifikasi (pergantian) musim, selain juga untuk membaca isyarat-isyarat alam, penanda-penanda yang secara potensial dapat mengganggu proses budidaya di tambak-tambak.
Pranata banyu, sebagai varian dari pranata mangsa, pada galibnya adalah pengorganisasian gejala-gejala yang terkait dengan peralihan musim. Sebagai sebuah “gudang pengetahuan” tentang alir waktu, yang berbasis pada peredaran dan posisi relatif matahari terhadap bumi, ia berimplikasi dalam kehidupan sehari-hari, baik sosial-ekonomi maupun religi, bahkan etos dan pandangan dunia.
Meskipun pranata mangsa pada umumnya diterapkan dalam pertanian, kalender musim tradisional ini pun dimanfaatkan dalam bidang-bidang lain, semisal oleh para nelayan sebagai pedoman untuk melaut. Apa yang dinamakan sebagai pranata banyu itu tiada lain daripada kalender musim tradisional khas masyarakat pesisir, khususnya di Dasun dan desa-desa pesisir lain di seputarnya, sebagai pedoman untuk mengelola jadwal budidaya garam dan ikan di tambak.
2.
Pranata banyu bisa kita bayangkan seperti sebuah desain, matriks, atau bahkan semacam peta navigasi, bagi para petani garam di Desa Dasun untuk bekerja. Berbekal “ilmu titen“ ― kompetensi atau kapasitas tertentu dalam mengamati, membaca penanda-penanda alam (perilaku hewan dan tumbuhan, arah angin, posisi matahari, serta rasi bintang) ―, mereka menghidupi suatu sistem pengetahuan yang dapat dikategorikan sebagai etnoklimatologi, jika bukan (bagian dari) etnoastronomi.
Karena berpijak dari dunia-hidup sehari-hari, pranata banyu itu dapat dikatakan pula sebagai hasil refleksi dan endapan pengalaman empirik para petani garam yang lalu tersimpul ke dalam sistem pengetahuan dan teknologi tradisional perihal pergeseran waktu yang beraturan, terpola.
Pola-pola tersebut, mengikuti Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973: 93-94), bisa dipahami sebagai “model”, yakni perangkat-perangkat tanda yang satu sama lain berelasi melalui kesejajaran dan keserupaan di antara sistem-sistem material, sosial, dan psikologis.
Dipandang dari posisi para pemrakarsanya, para leluhur dengan “ilmu titen”-nya tadi, pranata banyu mengolah tanda-tanda, khususnya tanda-tanda tekstual dan grafis, sebagai struktur yang sejajar secara skematis dengan sistem yang terdapat di dalam realitas waktu. Oleh karena itu, di satu sisi, pranata banyu adalah model dari kenyataan (model of reality), berangkat dari kenyataan.
Dipandang dari posisi para ahli warisnya, para petani garam pada hari ini, pranata banyu mengolah sistem yang terdapat di dalam realitas sehingga berelasi sejajar dengan struktur-struktur tanda. Sistem pengetahuan ini, sebagai warisan sosial, diterapkan dalam bidang yang terkait, terutama mata pencarian hidup sebagai petani garam. Oleh sebab itu, di sisi lain, pranata banyu adalah model bagi kenyataan (model for reality), sebagai pedoman bagi para petani garam untuk memahami realitas waktu.
Pemahaman tentang waktu dalam pranata mangsa pada umumnya dan pranata banyu pada khususnya digambarkan seperti lingkaran, tepatnya: spiral, jika memakai metafora Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur: Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah (2014: 138).
Metafora geometris semacam ini merupakan komponen yang khas dalam produksi makna puitik atau, dalam istilah Lévi-Straussian, nalar konkret (the logic of the concrete). Nalar ini bekerja dengan menautkan dua objek yang secara kategorial berbeda melalui persepsi kemiripan (resemblance atau similarity).
Produksi makna yang berdimensi estetik macam ini, antara lain, dapat terbaca dalam candra (karakteristik) setiap musim. Taruhlah metafora sotya murca saking embanan (permata lepas dari embannya), yang melukiskan daun-daun berguguran dari pohon, sebagai indeks awal musim kemarau; pancuran mas sumawur ing jagad (air tersebar di bumi ― air dan emas dipadankan karena sama-sama berharga dan tak ternilai), sebagai indeks musim penghujan, dst.
Kecuali itu, digunakan sarana lain semisal metonimi: bentala rengka (tanah retak) untuk mewakili masa paceklik; tirta sah saking sasana (air menghilang dari tempatnya) untuk mewakili cuaca dingin dan kering menjelang masuk ke musim kemarau, dst.
3.
Pameran Pranata Banyu di Sangkring Art Project Yogyakarta (8-30 Maret 2024) menghadirkan kolaborasi di antara para petani garam dan perupa Eggy Yunaedi.
Dibarengkan dengan presentasi arsip dan dokumentasi peristiwa “Bancakan Rupa” yang telah terselenggara di Situs Tambak Gede Dasun (November 2023), kali ini mereka menawarkan tema pancaroba melalui dua karya lukisan garam, yakni “Mangsa Mareng” dan “Mangsa Labuh.” Tahap transisi, dari musim penghujan ke kemarau atau sebaliknya, merupakan fase marginal (marginal phase) yang senantiasa diberi makna ambigu dan penuh risiko, penuh ketidakpastian dan, oleh karena itu, berbahaya.
Mangsa Labuh dan Mangsa Mareng dikedepankan sebagai dua metafora pokok yang kemudian diderivasikan lagi ke dalam klaster metafora yang lebih detail, semisal angin, air, dedaun jati, yuyu, semut, kincir, garu, dan slender. Segenap elemen metaforik ini membangun makna tentang situasi pancaroba yang terasa kontekstual:
“…ditandai oleh perubahan, ketidakpastian yang memerlukan sikap eling lan waspada,” tandas Eggy Yunaedi, “sebuah nilai yang tidak hanya dibutuhkan dalam budidaya tambak, tetapi juga selalu relevan untuk menyikapi kehidupan yang lebih luas, di tengah fenomena perubahan iklim dan perubahan dunia yang penuh ketidakpastian.”
Yogyakarta, 29 Februari 2024.
Gambar : Sungutan di Dasun (Fotografer : Ach. Sholeh Syarifuddin)